Monday 2 January 2012

Pertemuan di atas Ketinggian Ribuan Kaki #1

Hari ini saya menonton sebuah film (rekomendasi seorang teman) yang berhasil mengingatkan saya pada suatu pertemuan singkat. Judul film ini "The Help" diperankan Emma Stone, Viola Davis, dan Octavia Spencer. Tunggu, ini bukan film drama romantis atau thriller, tapi ini film tentang kesetaraan, hak asasi manusia, dan rasialisme. Ceritanya sederhana dan tidak berkesan 'berat'. Justru mengalir dan lumayan 'hidup'. Mengisahkan tentang komunitas pembantu kulit hitam di daratan Mississippi tahun 1960-an. Waktu itu rasialisme antara kulit hitam dan kulit putih masih sangat eksis. Perbudakan plus ketidaksetaraan jadi hal yang dipandang wajar dan 'sudah seharusnya'. Namun tidak berlaku bagi Skeeter (Emma Stone), seorang jurnalis di Jackson Journal yang 'ngeh' dengan ketidakberesan ini dan akhirnya memutuskan untuk menulis buku berisi sudut pandang para pembantu kulit hitam yang diperlakukan seakan mereka penghuni bumi kelas 2. Nah, saya gak bermaksud untuk me-review film ini, buat jelasnya silahkan tonton sendiri, tapi yang jelas tag film di cover-nya cukup menggelitik, dan saya pun memutuskan untuk membaginya. Di situ tertulis, "Change Begins with a Whisper". Sebenernya kalimat itu biasa saja, tapi entah kenapa kisah di film ini totally mengingatkan saya pada suatu pertemuan singkat dengan seorang TKW di dalam pesawat yang tengah melaju menuju Indonesia, Juli 2011 lalu.***

Sampai saat ini saya belum berhasil juga mengingat nama si "ibu ini". Dia seorang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang memutuskan untuk bekerja di Taiwan. Ada beberapa hal yang menarik yang saya temui sejak masih di bandara internasional Taoyuan, Taipei. Jadi waktu itu saya akan kembali ke Indonesia setelah mengikuti kegiatan di Kaohsiung, Taiwan. Ini adalah my-first-solo-trip, jadi saat itu saya sangat berhati-hati (bahkan kelewat hati-hati). Entah karena too excited jadinya gak mau ada hal yang saya lewatin.

Saya masih ingat, waktu itu jadwal penerbangan saya sekitar pukul 10 AM, masih harus menunggu sekitar 30 menit lagi. Saya duduk di deretan kursi ruang tunggu paling depan. Suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang (nampaknya sejumlah pengusaha) yang juga menunggu. Saya membuka laptop, sign in Twitter, dan mencoba membunuh waktu. Selang 5 menit kemudian, tiba-tiba suasana ruang tunggu itu berubah jadi riuh. Segerombol perempuan datang sambil membawa traveling bag berukuran macam-macam. Dandanan mereka rapi, dan ya..sebagian di antaranya cukup fashionable. Ada yang menenteng laptop dan hp. Ada yang bersepatu boots, ada juga yang berbalut over coat. Wajar saya menoleh dan memperhatikan mereka, toh tanpa mereka sadari mereka sudah membuat keramaian di ruang tunggu yang semula super-quiet itu. Kursi tunggu yang semula kosong pun seketika nyaris terisi penuh. Tak lama, muncul lagi sekelompok perempuan, dan yang kali ini lebih sukses lagi menimbulkan kegaduhan. Sebagian perempuan dari gerombolan pertama berhamburan memeluk perempuan dari kelompok kedua (yang baru saja datang). Seakan baru bertemu lagi setelah sekian tahun terpisah. Saya tebak, nampaknya mereka orang Filipin atau Thailand, atau jangan-jangan orang Indonesia? Sudahlah, yang pasti mereka semua berwajah Asia.

Saya kemudian mencoba menguping obrolan mereka, "hah percuma, semuanya berbahasa mandarin. Mana saya ngerti coba," dalam hati.

"Eh, tunggu, di sela-sela obroloan mandarin mereka kok ada bahasa yang saya kenal ya. Bahasa Jawa? Iya! Ini sih bahasa Jawa!," teriak saya masih dalam hati. Serius ini gerombolan orang Jawa? Tapi, siapa lagi coba yang ngobrol pake kata "nyong" dengan aksen medok, selain orang Tegal?

Tiba-tiba tiga dari mereka duduk di samping saya. Mereka masih ngobrol dengan bahasa mandarin. "Wah hebat-hebat juga ya bahasa mandarinnya," pikir saya. "TKW kah? atau...mahasiswa yang sekolah di sini?" dan saya sama sekali gak berani untuk menyapa duluan, kalau-kalau ternyata mereka bukan orang Indonesia.

Dan..mampus! salah satu dari mereka menyapa saya, pakai bahasa mandarin pula. Saya bingung dong musti jawab pakai bahasa apa. Bahasa Indonesia, gimana kalau dia bukan orang Indonesia? Bahasa mandarin, mana saya tahu! Akhirnya saya memutuskan untuk menjawab dengan bahasa Inggris, hah inilah yang paling netral.

"Sorry, i can't speak mandarin," ya mereka pikir saya bangsa Taiwan kali ya hahaha. Dua hingga tiga detik, kami terdiam---yeah, that's what we call an awkward moment, i guess.

Saya bisa membaca, mereka bingung harus jawab apa karena mereka gak bisa bahasa Inggris, tapi mereka juga tahu saya gak bisa bahasa mandarin. Tiba-tiba satu dari mereka menunjuk sambil bertanya, "you, Taiwan?", yang mungkin maksudnya: kamu orang Taiwan? Lalu saya jawab, "oh, no no, i'm Indonesian," dengan senyum (yang mungkin tampak maksa).

------saya diam------mereka diam----bertatapan satu sama lain----dan....

"Haaa ya ampuuuunnnnn, piye to ndak ngomong aja dari tadi gitu, orang Indonesia," teriak salah satu dari mereka. Yang lainnya, "haaaa Indonesia juga, dikirain orang sini (Taiwan-red)."
Yak, giliran saya yang bengong, "iya saya orang Indonesia," jawab saya.
"Loh mbak-mbak ini....," belum saya selesai ngomong (padahal saya bermaksud bilang "loh..mbak-mbak ini orang Indonesia juga?") salah seorang dari mereka bilang, "kita TKW yang kerja di sini. Adek ngapain?"

Jujur saya masih setengah kaget, serius mereka fashionable sekali (bukan maksud mendeskriditkan), tapi ya saat itu saya masih belum menyangka. "Kerja juga?," tanya temen sebelahnya. Buset, saya dikira TKW nih hahaha!

"Oh, bukan mbak, saya cuma sebelas hari di sini. Habis ikut kegiatan," sambil memaksa untuk tersenyum. "Oooh, iya iya. Mahasiswa ya, wah hebat ya bisa sampai sini. Saya juga sampai sini, tapi buat jadi pembantu, bukan buat belajar," katanya sambil ngeluarin bungkusan dari tasnya, yang ternyata cokelat kesukaan saya: M&M.

"Nih mau? Ini dikasih majikan saya. Dia punya banyak, tapi gak dimakan. Sayang," sambil nyodorin bungusan M&M besar ke hadapan saya. Saya ambil, sekaligus isyarat 'obrolan kita bisa berlanjut kan?'

"Oh menarik nih!" Cuma itu yang terlintas di pikiran saya.
Ini..ini..yang selama ini jadi topik berita di TV, ini nih yang selama ini jadi masalah yang belum kunjung beres, ini dia nih kesempatan buat ngobrol langsung sama perempuan-perempuan perkasa yang terpaksa ninggalin anak dan keluarganya, dan berani nembus rasa takut mereka. Selama ini mungkin saya cuma bisa bahas soal kekerasan yang dialami TKW Indonesia di komunitas kecil aja, seringkali juga di kelas perkuliahan (jadi topik analisis tugas berita, dll), atau di rumah sama papa atau kakak. Selama ini saya cuma dapat kesempatan wawancara dan nguber istri gubernur atau Kemenakertrans buat konfirmasi soal BNP2TKI, kalau ada (lagi) TKW yang disiksa atau terancam hukuman mati.

That's it.

Tapi saat itu, saya ada dihadapan (para) subjeknya. "Yang di sana juga TKW mbak?" tanya saya sambil menunjuk ke arah gerombolan pertama. "Iya, itu temen-temen saya. Banyaknya sih dari Jawa (Tengah-Timur), tapi ada juga yang dari Sunda (Jawa Barat)," katanya. Ok, tepatnya mereka bertebaran di hadapan saya.

"Udah berapa lama mbak kerja di sini?" saya berusaha menahan pertanyaan lainnya. Tunggu chie, santai..jangan sampai bikin mereka gak nyaman. Saat itu saya sama sekali gak terpikir untuk membuat feature atau tugas tulisan. Saya benar-benar mewakili rasa ingin tahu saya, itu aja. Tanpa 'bendera' apa pun. "Saya udah 4 tahun, dia 3 tahun. Rata-rata semua yang ada di sini (di ruang tunggu bandara saat itu-red) udah kerja 4 tahun di sini," katanya. "Betah ya mbak?" haduh, salah, ini harusnya jadi pertanyaan tengah aja. "Yaaaa..gitulah. Dibetah-betahin aja. Untung saya dapet yang baik," yang lain cuma ngangguk-ngangguk sambil mainin hp mereka yang merknya entah merk apa (hp buatan Taiwan kali yak).

Saya berusaha nanya sesantai mungkin, dan mengesankan bahwa 'ini gak penting-penting amat sih'. "Emang kerjanya apa mbak?" tanya saya. "Kebanyakan dari kita sih jadi perawat," wah! tenaga profesional dong, batin saya. "Ya gitulah, ngerawat dan jagain kakek-kakek nenek-nenek. Kalau di Indonesia panti jompo gitu," terang yang satunya. "Ooooh," kata saya sambil (tetep) senyum.

So far, mereka masih nyaman, bahkan nampaknya mereka makin tertarik ngobrol sama saya. Kini giliran mereka balik bertanya, "acara apaan dek? dimana? Taipei?", "ada konferensi gitu mbak. Bukan di Taipei, di Kaohsiung. Kotanya enak ya, sepi gak kaya Taipei, padet," kata saya. "Ooh Kaohsiung emang enak dek, saya sempet setahun pertama ditempatin di sana". "Oooh..iya emang enak sih," lanjut saya, mulai bingung untuk cari pertanyaan yang lebih 'dalem' lagi.

Sayang, pesawat terlanjur siap. Kami berpamitan. Ya, meski pakai pesawat yang sama, kursi kami mungkin berjauhan kan. Perasaan saya campur aduk, antara senang, bingung, dan penasaran. Wajah mereka semua tampak bahagia, bahkan gaya mereka 'makmur'. Semua ditempel di badan mereka, mulai dari aksesoris sampai gadget. Syukurlah, batin saya. Memang gak semuanya seperti yang diberitakan. Banyak juga yang dapat majikan baik, dan memperlakukan mereka dengan layak.

Di dalam pesawat. Saya dapat tempat duduk di samping jendela. Posisi yang paling saya suka. Di samping saya, ada seorang ibu, orang Taiwan, dan ramah. Saya tersenyum ke arahnya, lalu duduk. Benar saja, mbak-mbak tadi tidak tampak di cabin saya. Pesawat pun take off. Saya mulai baca daftar film yang di sediakan China Airlines. Mungkin saat itu pesawat sudah berada di atas ketinggian sekian ribu kaki dari laut, ketika ibu di samping saya itu menyapa dengan bahasa mandarin. Lagi-lagi saya balas dengan bahasa Inggris. Dia nampak kebingungan, tersenyum, dan kembali diam. Cukup lama. Saya mulai menonton film yang saya pilih, yang ternyata film Thailand berjudul "Hello Stranger". Saya pun menyusun rencana: cukuplah dua jam nonton, 30 menit makan, sisanya tidur--untuk enam jam perjalanan udara dari Taipei ke Jakarta.

Tapi, rencana tinggalah rencana. Saat menonton film itu, saya berteriak pelan sambil tertawa, "haha..apa-apaan, parahlah." Seolah kaget, ibu itu tiba-tiba menoleh ke arah saya sambil bertanya, "Indonesia?". Seketika saya buka headset yang tengah saya pakai, "pardon?" tanya saya. Dia mengulang lagi sambil jelas tampak ragu, "Indonesia?". "Yeah, i'm Indonesian," kata saya pelan sambil masih meyakini bahwa ibu itu adalah orang Taiwan.
"Hoalaaaaahhh..., bilang atuh dari tadi," katanya seketika sambil memukul-mukul bahu saya pelan. Saya bengong.

Pada akhirnya, saya lebih tertarik mendengar kisah si-ibu-di samping-saya itu.
Dan cerita pertemuan di atas ketinggian ribuan kaki pun baru akan dimulai.....

...........PART #2

No comments:

Post a Comment