Monday 2 March 2015

Pergilah Sejenak, dan Kau Akan Temukan


“Terkadang, kita perlu beranjak keluar sejenak dan melihat dari luar, bahwa apa yang kita miliki begitu berharga.”

***

Sepenggal kalimat itu saya ucapkan pada Desember 2014 lalu, di hadapan sejumlah anak muda Indonesia dan Australia, dan di hadapan para petinggi daerah di Kalimantan Selatan. Ketika itu saya diminta berbicara, mewakili pemuda lain untuk menyampaikan kesan dan pesan yang saya dapat selama mengikuti program pertukaran pemuda yang diselenggarakan pemerintah Australia dan Indonesia. Ini memang bukan kali pertamanya saya berpidato di dalam sebuah forum. Namun, ini berbeda.

Dalam speech spontan tanpa teks apalagi persiapan tersebut, saya berdiri selama kurang lebih 10 menit, dan tanpa saya sadari, saya melintasi banyak temuan yang justru saya dapatkan secara kebetulan. Sepuluh menit yang berkualitas bagi saya untuk lebih mengenal diri saya sendiri. Sejujurnya ketika itu, saya tidak sedang berbicara di hadapan banyak orang, melainkan berdialog pada diri sendiri.

Sebelum akhirnya saya berdiri di podium itu, saya dan 17 pemuda Indonesia lainnya—yang kemudian menjadi keluarga baru saya, telah melewati 2 bulan yang berharga. Kami dikirim ke Australia Barat untuk melakukan sebuah misi, bukan misi politik, melainkan misi budaya secara luas yang harus dibangun pada level terkecil dalam sistem sosial, yaitu individu ke individu. Selama 2 bulan kami tinggal bersama keluarga angkat di sana, setiap hari kami mendapat kesempatan bekerja melalui kegiatan magang di perusahaan, sekolah, dan universitas. Setiap Senin, kami off dari tempat magang, dan mengabdikan diri kami selama satu hari itu untuk berkunjung ke sekolah-sekolah dan menampilkan kebudayaan Indonesia melalui lagu, tarian, dan kesenian.

Mungkin sebagian akan mengatakan, kegiatan semacam ini bisa saja kita temukan dalam program-program pertukaran pemuda lain yang serupa. Tidak, itulah yang ingin saya bagi. Itulah yang membuat saya memiliki kekuatan untuk berdialog pada diri sendiri dalam waktu 10 menit yang seharusnya saya pergunakan untuk berpidato. 

Meski pada akhirnya saya menyadari, bahwa perjalanan 2 bulan ini bukan hanya tentang misi tersebut, itu hanya sebuah kotak besar yang mewadahi kami semua. Lebih dari itu, saya memaknai perjalanan ini sebagai suatu kontemplasi diri. Perjalanan dari tempat ke tempat lain, dan menjadi orang asing di tempat baru, selalu menarik bagi saya, selalu berhasil membawa pemikiran baru yang mendalam dan bisa saya bawa pulang.

Ini bukan soal perjalanan pergi ke luar negeri. Apalah arti ke Australia, ketika semua orang bisa dengan mudahnya pergi kesana, dengan begitu banyak pilihan promo penerbangan yang menggiurkan. Ini bukan soal itu.  Ini adalah sebuah temuan pribadi, sesuatu yang justru saya dapatkan ketika saya berada ‘di luar lingkaran’ khatulistiwa.

Lalu, apa itu? Apa yang saya dapat dari perjalanan itu?

Sebuah koneksi.

Itu saya temukan ketika ratusan tepuk tangan siswa Kennedy Baptist College menggemuruh di auditorium sekolah, sesaat setelah kami menyelesaikan setiap part dari Tari Saman. Itu saya temukan ketika sekelompok siswa Scotch College dengan antusias mengikuti setiap gerakan tari Tor-Tor yang kami peragakan. Itu saya temukan saat anak-anak sekolah dasar di Margaret River Primary School dengan rajin berlatih lagu “Malam Kudus” menggunakan angklung untuk konser malam Natal mereka. 

Koneksi itu saya temukan pula ketika seseorang yang tidak saya kenal di halte bus Transperth menyapa saya dan memuji dress batik yang saya kenakan pagi itu, dan koneksi itu juga saya rasakan ketika melihat Rumah Makan Padang di sudut kota Perth lebih penuh ketimbang restoran sushi di seberangnya. Ketika lagu “Tanah Air” berkali-kali lipat lebih sakral dari yang pernah saya bayangkan. Ya, koneksi di luar dugaan yang terkadang membuat saya merinding sendiri, dan justru saya temukan ketika saya tengah berada jauh dari “rumah”. 

Menari Saman saat piknik bersama keluarga angkat di sudut kota Perth, Australia Barat.

Mendapat sambutan meriah dari siswa Kennedy Baptist College

Saya sudah seharusnya berterimakasih pada Hope, Abigail, Rubby, dan Katelyn, siswa kelas 2 di Margaret River Primary School, yang setiap hari datang menemui saya di kelas Music Department. Selain magang di media massa, saya juga berkesempatan magang sebagai guru musik di Music Department Margaret River Primary School di Australia Barat. Ini merupakan tantangan bagi saya yang dalam sepanjang hidup saya tidak pernah sekalipun belajar musik secara formal. Saya memang bisa memainkan beberapa alat musik, namun itu pun belajar secara otodidak. Berbekal kemampuan seadanya, dan sedikit pemahaman tentang alat musik angklung, saya pun diminta untuk mengajarkan alat musik bambu asal provinsi saya pada siswa kelas 1 hingga 6 di sekolah dasar tersebut.


Suasana kelas Music Department ketika saya mengajarkan alat musik angklung pada siswa Margaret River Primary School

Dari sekian banyak siswa yang hilir-mudik setiap harinya, menyapa saya dengan Bahasa Indonesia—ya, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi salah satu kurikulum di sebagian besar sekolah dasar di Australia; Hope, Abigail, Rubby, dan Katelyn adalah 4 di antara ratusan siswa lainnya yang intens bertanya tentang Indonesia. Mereka bahkan rela menunggu saya di depan ruang staff ketika jam istirahat, dan membuat saya memutuskan untuk makan siang bersama mereka di halaman sekolah ketimbang makan siang bersama dengan guru-guru lainnya.

Pertanyaan sederhana khas anak-anak, namun tak jarang membuat saya terdiam, berpikir, dan merasa tertampar. Pertanyaan serupa ini, “Seperti apa Indonesia?”, “Apa yang paling kamu suka dari Indonesia?”, “Bagaimana orang-orang di Indonesia?”, “Apakah kamu bahagia berada di Indonesia?”, dan pertanyaan ‘sederhana’ lainnya. Saya menyadari, mereka tidak perlu jawaban yang diplomatis. Mereka pantas mendapatkan lebih dari itu. Mereka adalah anak-anak yang benar-benar bertanya karena keingintahuan mereka, bukan basa-basi.

Baru kali itu saya bercerita tentang Indonesia dengan penuh semangat, menjelaskan cara pembuatan tempe dengan perasaan yang begitu antusias, menceritakan tentang kisah Candi Prambanan dengan semangat, menunjukkan pertunjukkan wayang golek melalui saluran Youtube dengan penuh suka cita.     

Siswa Margaret River Primary School tengah berlatih lagu Malam Kudus menggunakan angklung untuk Konser Malam Natal.
Itulah mengapa saya menyebut perjalanan ini sebagai kontemplasi diri, proses untuk jujur pada diri sendiri, yang pada akhirnya mempertemukan saya dengan koneksi yang luar biasa dengan Tanah Air dimana saya berasal. Rasa cinta itu bertambah dengan sendirinya, perasaan bangga yang timbul bukan karena keangkuhan ataupun kemenangan, melainkan kerendahan hati. Lantas, jika sudah begini, ruang, waktu, rupa, dan warna bukan lagi jadi perkara, dikalahkan rasa bersama menjadi penghuni semesta raya, di situlah tingkat tertinggi dari rasa cinta angkat bicara.

Perjalanan ini adalah perjalanan untuk lebih mengenal negeri sendiri. Melalui perjalanan ini, saya semakin paham, bahwa manusia cenderung sulit mengenali keindahan yang ada di sekelilingnya, sampai pada akhirnya kita menjadi orang asing di tempat baru, dan menyadari bahwa apa yang sudah kita miliki teramat begitu berharga.***

Kami dipertemukan dalam satu waktu dan ruang yang sama. Perjalanan 2 bulan yang luar biasa bagi kami, 18 pemuda Indonesia dari 15 provinsi berbeda.


Bandung, 2 Maret 2015
*tulisan ini dibuat sebagai rasa syukur saya 
#CatatanKebangsaan

No comments:

Post a Comment