Wednesday 24 September 2014

Intercultural Understanding, antara Tantangan dan Jawaban

“Culture makes people understand each other better. And if they understand each other better in their soul, it is easier to overcome the economic and political barriers.”—Paulo Coelho, Novelist & Writer

Tidak ada ungkapan yang lebih tepat selain pernyataan setuju saya atas apa yang disampaikan Paul Coelho, seorang novelis asal Brazil yang menghasilkan banyak karya populer di dunia saat ini. Apa yang kita kenal dengan istilah “budaya” ataupun “kebudayaan” memang bukan sebuah panasea atau obat penawar mujarab untuk mengatasi masalah. Akan tetapi, “budaya” atau “kebudayaan” itu sendiri seperti memiliki kekuatan yang dapat mencairkan kebekuan, memudahkan suatu hal untuk dipahami, bahkan dapat meredakan suatu ketegangan. Maka sulit untuk dipungkiri, bahwa intercultural understanding menjadi media penting dalam suatu pondasi hubungan diplomatis antar negara.

                                   

Seperti halnya yang telah lama dibangun oleh kedua negara tetangga, Indonesia dan Australia. Sejak kemerdekaan Indonesia, kedua negara ini telah menjalin hubungan diplomatik, mulai dari kerjasama formal, hubungan perjanjian dan MOU, keanggotaan bersama dalam forum regional dan perjanjian multilateral. Dari segi perdagangan dan sektor bisnis, kerjasama kedua negara ini pun terus tumbuh setiap tahunnya. Hal ini didasari atas kesadaran dari kedua belah pihak bahwa masing-masing saling membutuhkan. Terlebih pada 2005, Indonesia-Australia telah menandatangani comprehensive partnership, kemitraan yang tidak hanya mencakup satu bidang, akan tetapi lebih menyeluruh dan bersifat holistik.

Sebagai negara tetangga, Indonesia-Australia telah melalui berbagai fase pasang surut yang sebagian besar dipicu oleh iklim politik kedua negara. Contoh kasus terbaru adalah the spying scandals yang terjadi akhir 2013 lalu. Bias pemberitaan media massa di kedua negara juga menjadi pemicu memanasnya hubungan bilateral yang puncaknya ditandai dengan penarikan Duta Besar Indonesia di Canberra sebagai bentuk kekecewaan pemerintah Indonesia terhadap pemerintah Australia, ketika itu.

Namun, apa yang terlihat pada lapisan permukaan, yaitu ketegangan antara pemerintah, seringkali belum tentu merepresentasikan apa yang terjadi pada lapisan di dalamnya, yaitu society, antar warga negara di dalamnya. Sebagai contoh sederhana, ketika kasus itu muncul, saya justru tetap berhubungan sangat baik dengan rekan kerja yang berkewarganegaraan Australia. Bahkan, kasus tersebut menjadi bahan diskusi menarik bagi kami. Kemungkinan tersebut bisa terjadi jika sejak awal telah tertanam saling pengertian yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai toleransi. Kekuatan hubungan people to people dapat menjadi perekat yang efektif.

Apa yang kemudian disebut sebagai Intercultural Understanding memang menjadi topik penting tak hanya dalam hubungan bilateral antara Indonesia-Australia saja, melainkan juga hubungan antara negara lainnya. Namun, bagi Indonesia-Australia, topik ini telah banyak berkontribusi bagi keduanya. Ada banyak hal yang telah dilakukan untuk dapat melahirkan ruang dalam menciptakan Intercultural Understanding. Melalui bidang pendidikan, Indonesia-Australia memiliki Australia Award Scholarship and Australian Development Scholarship (ADS) yang setiap tahunnya rutin mengundang mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi mereka di berbagai universitas di Australia. Dari bidang riset, para peneliti Indonesia-Australia juga membentuk Australia-Indonesia Centre (AIC) pada 2013 lalu yang berpusat di Monash University. Tujuannya adalah untuk memperluas kerjasama dalam bidang penelitian, terlebih untuk melahirkan solusi bagi masalah yang dihadapi bersama, baik di bidang kesehatan, energi, dan infrastruktur melalui penelitian yang dilakukan bersama.

Pada Maret 2014 lalu, melalui Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilan, sebuah program yang didukung pemerintah Australia dan Bappenas, lahir program untuk membantu kaum difabel mengatasi hambatan besar yang dihadapi dalam sistem peradilan Indonesia.

Melalui bidang kepemudaan dan diplomasi, Indonesia-Australia memiliki Causindy (Conference for Australian and Indonesian Youth) yang tahun ini baru saja digelar di Jakarta pada 14-17 September lalu. Causindy merupakan ruang bagi para diplomat dan atau aktivis muda kedua negara untuk bertemu dan berdiskusi mengenai tantangan masa depan bagi hubungan bilateral Indonesia-Australia. Melalui bidang kepemudaan dan kebudayaan, Indonesia-Australia juga memiliki Australia-Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP) yang telah terjalin baik sejak tahun 1981, dan akan terus berlangsung setiap tahunnya. Ditambah lagi dengan hadirnya sejumlah relawan Australia di Indonesia melalui program Australian Volunteers for International Development (AVID).

Diharapkan penanaman hubungan yang lebih bersifat informal, dari masyarakat ke masyarakat ini, dapat menjadi dasar hubungan yang dapat kian memperkuat hubungan formal bagi kedua negara tetangga ini.***  


Bandung, 23 September 2014

Cheers!
Achie


No comments:

Post a Comment