Monday 20 February 2012

it always be an unbirthday gift :)


"aaaaaaa very merry unbirthday to you! to me!," said March Hare when they were in the tea party (a very merry unbirthday song--Alice in Wonderland).

***

dulu, saya gak terlalu ngerti makna dari "unbirthday" atau "unbirthday gift". saya menilai itu terlalu naif. ketika seseorang memutuskan untuk tidak merayakan hari ulang tahun--siapa pun, sebagai hari yang spesial sampai-sampai harus dirayakan. saya yakin, gak bakal ada satu pun orang yang berani nolak ketika dapet hadiah atau kue saat hari ulangtahunnya. meski, dengan menerimanya, berarti seseorang itu harus kehilangan semangat "unbirthday".

Saturday 11 February 2012

bahasa sendiri

kata mereka, kata-kata saya sulit dimengerti
mereka bilang, saya punya bahasa sendiri

"kamu terlalu abstrak, dan, sulit disentuh," katanya.

saya tak pernah memohon seseorang untuk mengerti,
saya tak pernah menodong orang lain untuk memahami,

seseorang pernah bilang, "mata kamu selalu tampak menggebu"
"begitulah semesta di mata saya," kata saya, singkat.
"apakah saya termasuk dalam 'semesta' itu?" katanya.
"siapa pun boleh keluar-masuk"

satu ketika, seorang teman bertanya, "kenapa kamu selalu punya pertanyaan?"
"karena saya hidup," jawab saya, seketika.
"apakah pertanyaan itu simbol kehidupan?" tanyanya lagi.
"setidaknya, dalam sudut pandang saya, ya."
"kamu sulit dimengerti," katanya.
"memang gak ada yang harus dimengerti," jawab saya sekenanya.

memang tidak ada yang harus dimengerti. teori-teori itu sekali pun.
semua teori itu hanya rekonstruksi dari pemikiran seseorang, hanya saja dia lahir lebih dulu.
dan, kita, saya, terjebak dalam hegemoni yang menggiringnya pada pembenaran.
teori itu adalah bahasa mereka--para pendahulu, dalam memaknai sesuatu.
kita, dan saya, punya bahasa sendiri.

kita pun berhak berteori.

sekali lagi, tidak perlu ada yang harus dimengerti, sekali pun tulisan ini.

Friday 10 February 2012

semua ada waktunya

semua memang ada waktunya
seperti matahari yang terbit lalu tenggelam
serupa daun yang mengering dan jatuh ke tanah

waktu menjanjikan kita dua hal,
ketepatan dan giliran

ketepatan, menyingkirkan kemungkinan dan kebetulan
giliran, menepis keseragaman agar terasa istimewa

waktu tidak pernah ingkar
tak seperti manusia yang pandai mematahkan jarum jam

bahkan, ketika tidur sekalipun
waktu terus hidup menyaksikan kita
meski tak punya nyawa, 'ia' punya suara
dalam bahasa menit, detik, dan milisekon

dengar, waktu berucap, "semua ada waktunya"



#untuk jurnal-jurnil yang mulai 'berserakan'

Thursday 2 February 2012

kisah di balik februari

“ruang adalah alasan, sedetik waktu adalah kemungkinan. Maka, ucapkanlah ketika ruang dan waktu beririsan….”

***

Bandung, 14 Maret 1970—14:35 WIB

Kursi itu berderik, laki-laki itu berdiri sambil membalikan badannya. Dari ujung mata, aku tahu dia mencuri pandang ke arahku. Aku tak berani menatap langsung sosok tegap dengan rambut hitam pekat, alis tebal, kulit kecokelatan, mata tajam, pipi tirus, tahi lalat di sikut kanannya, dan….ah, terlalu banyak yang aku tahu tentang dia. Meski ada satu hal yang aku tak tahu hingga kini, perasaan aneh yang menimpaku. Rasanya seperti menelan kupu-kupu hidup-hidup, dan membiarkannya meluncur dari kerongkongan menuju rongga dada, kemudian membiarkannya menari-nari dalam perut.

***

Bandung, 14 Maret 1970—14:35 WIB

Dia sedang apa? Aku pun beranjak dari kursi. Inilah satu-satunya cara agar aku bisa melihatnya. Dia duduk tepat di belakangku. Perempuan yang…baiklah, terlalu sulit bagiku untuk menggambarkannya. Lagi pula aku tak pernah tahan untuk berlama-lama memperhatikan setiap jengkal rupanya. Terlalu menyiksa. Ya, ini terkadang menyenangkan, namun juga sering membuatku seperti terlempar. Jauh dari kenyataan. Apalagi setelah melihat benda logam yang melingkari jari manis di tangan kiriku ini. Pertanyaannya: kemana saja kamu selama ini? Kenapa baru muncul?

***

Bandung, 26 April 1970—09.15 WIB

Ruang perkuliahan ini tampak menyenangkan, bukan karena sebentar lagi gelar sarjana akan kukantongi, tapi lebih karena dia yang menyapaku. Memberiku tumpukan buku, katanya “untuk persiapan sidang nanti.” Aku tak peduli tumpukan buku itu. Aku hanya peduli pada jari manis sebelah kirinya ketika dia menyerahkan tumpukan buku itu. Aku hanya ingat kata, “terimakasih”. Selebihnya semua tampak abu-abu.

***

Bandung, 26 April 1970—09.25 WIB

Dengan segala keberanian, aku buat sebuah keputusan. Dia harus tahu, meski hanya sekedar tahu. Tidak apa, yang penting dia tahu. Aku ambil cara klasik, menyisipkan selembar kertas pada tumpukan buku yang baru saja kuberi padanya. Untuk persiapan sidang? Itu Cuma modus. Ada yang lebih penting dari itu. Sebuah pertemuan. Kutulis nama tempat, hari, dan waktu. Semoga ini moment yang tepat, meski aku tahu ini terlambat.

***

Bandung, 26 April 1970—09.25 WIB

Rasanya ingin ku robek dan ku makan saja tumpukan buku di atas meja ini. Kalau perlu kulempar tepat di mukanya. Berharap wajah itu akan lebam, sehingga tak ku kenali lagi wajah itu. Siapa dia? Berani-beraninya merusak pikiranku. Baiklah, aku harus menghapus semuanya. Lebih baik tak usah ku simpan buku-buku ini. Hanya akan merusak konsentrasiku saja. Tak akan aku biarkan tangan ini membuka lembarannya, walau hanya satu halaman saja. Ok, siang ini juga, akan ku jual buku-buku ini ke tukang loak. Tak peduli mereka menghargainya berapa, kalau perlu kuhibahkan saja buku-buku ini. Yang penting tak usah aku lihat lagi tumpukan buku ini.

***

Bandung, 6 Mei 1970—19.56 WIB

Semoga cara klasik ini berhasil. Aku yakin dia pasti datang. Dia pasti datang. Dia pasti…tapi ini sudah lewat dari waktu yang kutentukan. Kenapa dia belum datang juga? Atau memang dia tidak akang datang karena tidak mau datang? Apa aku salah menuliskan waktu? Atau aku salah menuliskan nama tempat? Hah..kenapa tidak kupastikan dulu sebelumnya, bodoh. Dua gelas cokelat dan satu gelas air putih menemaniku sambil terus menunggunya, tapi dia tak muncul juga. Oh, mungkin dia memang enggan. Padahal, hari ini aku baru saja mengambil keputusan terbesar, memutuskan yang sudah aku jalin. Melepaskan benda logam di jari ini seperti membuat keputusan baru yang bahkan tidak ada jaminannya. Tapi, aku adalah orang yang selalu menghargai segala pilihan yang aku ambil. Aku baru saja akan menyatakannya. Ekspektasiku terlampau tinggi, nyatanya dia tidak muncul sedikitpun. Waktuku habis, kini yang tersisa tinggalah kesimpulan sepihak. Tak apa, dengan cara seperti ini, akan lebih mudah bagiku untuk membuang rasa.

***

Chicago, 28 Juni 1970—8.20 AM

Lebih baik di sini. Bukan untuk menghindar, tapi mencari lingkungan baru yang kelak menunjang karirku. Mungkin, di kota ini aku akan menemukan sosok baru, penunjuk jalan yang sesungguhnya. Sulit, itu pasti. Tapi ini memang lebih baik. Dari pada berharap pada sesuatu yang bukan digariskan untukku. Ini memang lebih baik.

***

Bandung, 14 Juli 1970—23.10 WIB

Bertemu tidak, yang ada aku malah kehilangan jejaknya. Setelah lulus, dia pergi. Saluran apa yang bisa kugunakan? Tak ada. Jika keinginanku untuk membuang rasa ini berhasil, maka akulah pembohong terbesar. Rasa ini tidak beranjak sedikit pun, malah mengisi sisi kosong lainnya, dan terus mengisi kekosongan lainnya. Terisi penuh. Sialan.

***

Chicago, 4 Mei 1972—7.45 AM

Benar. Di sinilah karirku menemukan jalan. Dalam waktu seminggu, 3 sampai 5 tulisanku terpampang di sudut harian internasional ini. Aku sibuk menulis kata dan kalimat, dan juga sibuk melupakannya. Keduanya saling berbanding terbalik. Aku bahkan tak pernah tertarik, melihat sosok lain yang menurut rekan sekantorku menarik. Sendiri, saat ini memang lebih baik.

***

Bandung, 4 Mei 1972—08.10 WIB

Aku tahu. Aku tahu dia memang bisa. Aku tersentak ketika suatu pagi membuka halaman koran nasional nomor satu, dan melihat namanya di sudut halaman. Kini dia bekerja sebagai perwakilan redaksi yang ditempatkan di benua seberang. Ini memang yang selalu menjadi keinginannya. Dan dia berhasil. Baiklah, akan kukirim kartu pos ke alamat redaksinya. Hanya ini satu-satunya cara untuk bisa berkomunikasi lagi dengannya. Setidaknya, aku tahu alamatnya. Kartu pos ini, akan aku kirim hari ini juga. Pesannya singkat, tapi merangkum semua kegelisahanku selama dua tahun ini. Sebuah pernyataan. Aku berjanji, jika kali ini tak ada jawaban, maka aku akan berhenti.

***

Chicago, 17 Juni 1972—8.20 PM

Apakah dia baca tulisan-tulisanku? Kenapa aku tak bisa berhenti peduli padanya?! Mengapa aku harus peduli pada seseorang yang mungkin, ya mungkin, sudah bahagia dengan perempuan pilihannya, yang memang, sayangnya, bukan aku.

***

Bandung, 20 Juni 1972—23.15 WIB

Tuhan, bahkan kartu posku saja tak dibalasnya.

***

Chicago, 22 Juni 1972—3.20 PM

Baiklah, dia memang tak membaca tulisan-tulisanku.

***

Bandung, 13 Maret 2002—17.08 WIB

Rambutku sebagian memang sudah memutih, tapi ingatanku pun masih putih jelas. Dari dia yang tidak pernah membalas. Aku tetap memutuskan untuk sendiri, hingga detik ini.

***

Chicago, 13 Maret 2002—7.21 PM

Aku sudah tidak sanggup lagi terjun ke lapangan. Kini aku lebih senang menulis tentangnya, untuk sebuah kolom cerita bersambung di halaman majalah internasional untuk perempuan. Hanya dua hal ini yang pernah membuatku benar-benar jatuh cinta. Dia, dan menulis. Tak ada lagi. Bahkan, sampai usia yang hampir larut ini.

***

Bandung, 8 Juli 2003—11.12 WIB

Seluruh tubuhku seperti tersedot, yang tertinggal hanya kulitnya saja. Aku tak sanggup membaca kabar ini. Semua huruf tiba-tiba menjelma menyerupai kunang-kunang. Hanya beberapa kalimat yang masih bisa kucerna: penulis perempuan kebanggaan Indonesia tutup usia. Ini pasti salah. Apalagi kalimat berikutnya yang menyatakan dia meninggal dalam kesendirian. Apa kesendirian? Sendiri?

***

Bandung, 14 Februari 2012

“Sebuah kartu pos berumur 42 tahun baru saja ditemukan oleh sejumlah staf kantor pos pusat ketika akan mengganti peti surat yang telah digunakan sejak tahun 1956. Kartu pos yang ditulis pada 1970 itu ditemukan terselip di antara celah peti. Dalam kartu pos tersebut tertulis nama pengirim, Angga Padmanegara, yang ditujukan untuk Kinara Mawarni, penulis terkenal era 70-an. Pihak kantor pos pusat menyesalkan hal ini, dan mengakui kejadian tersebut sebagai akibat dari kelalaian pihaknya pada masa itu. Mereka berjanji, kejadian serupa tidak akan terulang lagi.”

***