Monday 16 May 2011

Potongan Puzzle Negeri Kincir Angin di Sudut Kota Bandung





Ada potongan puzzle kecil milik bangsa Belanda tersimpan rapi di kota kelahiran saya, Bandung. Puzzle ini 'tertinggal' sudah hampir se-abad lalu, tapi kharismanya masih sekuat namanya. Dari potongan puzzle inilah saya belajar mengenal sejarah, kebudayaan, inovasi, dan mental sebuah negeri kincir angin. "Sejarah dan kebudayaan tradisional mereka gabungkan dengan inovasi, modernisasi dan orientasi internasional, hingga saat ini."

***

“Hallo! Bandoeng!”
“Ja moeder hier ben ik!”
Ze antwoordt niet.
Hij hoort alleen ‘n snik
“Hallo! Hallo!”

Zij is niet meer en het kindje roept: “Tabeh”

Tepuk tangan penonton terdengar bersamaan dengan lirik terakhir yang saya nyanyikan. Lagu ini membuat saya tak sadarkan diri beberapa menit. Bukan karena lupa lirik, tapi karena pikiran saya pun ikut ‘bernyanyi’. Bagaimana tidak, lagu yang dipopulerkan Wieteke Van Dort berjudul “Hallo Bandoeng” ini punya makna yang begitu dalam. Dibuat pada 1929, mengisahkan tentang seorang nenek yang rindu pada anak-cucunya yang pada masa itu (kolonialisme) tinggal di Kota Bandung. Ada hal yang saya dapat dari lagu ini, bahwa untuk mengenal sesuatu yang besar bisa bermula dari hal sekecil apa pun. Dari lagu ini, misalnya. Ada ikatan emosional yang dihadirkan, antara negeri dimana lagu ini berasal—Belanda, dan kota Bandung—kota kelahiran saya.

Meski saya belum pernah menginjakan kaki di negeri kincir angin, namun kehebatan tangan-tangan bangsa Belanda bisa saya saksikan di kota tempat saya tinggal ini. Coba tengok Jalan Braga di Kota Bandung. Karya-karya Schoemaker bersaudara (arsitek Belanda) hampir mendominasi jajaran bangunan di jalan yang sempat dikenal sebagai “jalan yang paling bergaya Eropa”. Bangunan-bangunan art deco masih kokoh berdiri, menjadi ikon tersendiri bagi kota Bandung, dan sempat mengantarkannya ke peringkat 9 dalam “World’s Great Cities of Art Deco”.


Dari ‘potongan puzzle terkecil’ di sekitar saya ini: lagu, kekayaan heritage, dan beberapa buku, seperti Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto milik ayah, saya mendapat tiga pandangan tersendiri tentang sebuah negeri kecil dengan semangat besar yang terletak di Eropa bagian barat laut itu.

Konsisten terhadap kualitas pendidikan. Bayangkan, pada tahun 1900-an, ilmu arsitektur di Belanda sudah bisa secanggih itu. Kekuatan bangunan dan ornamen art deco hingga saat ini masih belum ada yang bisa menandingi. Inovatif dan pola pikir luar biasa juga jadi keunggulan Belanda. Tak heran, jika sejak masa Bung Hatta hingga kini, Belanda tetap menjadi negara tujuan utama dalam bidang pendidikan.


Disiplin dan well-organize. Inilah keunggulan yang membedakan Belanda dengan negara lainnya. Waktu dan peraturan bukanlah perkara sepele. Bagi saya, tradisi disiplin inilah pondasi utama atas seluruh pencapaian Belanda dari dulu hingga sekarang. Bukti well-organize mereka salah satunya tentang upaya pengalihan dan pembendungan air yang dulu menutupi daratan Belanda, dengan memanfaatkan kincir angin. Jika hanya mengandalkan teknologi pada masa itu saja, mustahil akan berhasil. Ada disiplin dan perencanaan super, terselip kokoh dalam ‘windmill’ itu.


Peduli lingkungan, bagian dari budaya. Hutan di tengah kota, udara segar siap memanjakan para penghuninya, 16 juta sepeda jadi transportasi utama, polusi & plastik jadi musuh bersama, diganti dengan ribuan tulip cantik mempesona. Nyamannya hidup sehat berdampingan dengan alam. Saya memang belum pernah merasakannya langsung, tapi terbayang sudah cerita kakak, teman, dan foto-foto itu.

Ah, pantaslah negeri ini masuk dalam jajaran negara paling nyaman dan menjanjikan untuk hidup dan belajar. Netherland, grab me fast!


*buka juga kompetiblog2011

1 comment:

  1. apapun itu nak, yang menurutmu belanda itu inda, dalam catatan sejarah, belanda adalah penjajah, yang menguras hasil bumi indonesia...

    ReplyDelete