Thursday, 29 November 2012

021-1

Hi there!

Long time no-post ya. Maafkan, bukan lupa diri, tepatnya lupa waktu :p

It's been a half 3 months after moving out from my comfort zone. proses yang patut diapresiasi, paling tidak oleh diri saya sendiri :)

what happened with my life in a past 3 months?

Baiklah, ini memang bukan cerita yang singkat. Bahkan, saat ini pun saya bukan hendak berbagi cerita. Lama gak nge-post rasanya seperti punya hutang yang begitu menumpuk. Merasa berdosa sama diri sendiri (yang pada awalnya) berkomitmen untuk memproduksi (at least) satu posting-an dalam satu minggu. Berhubung niat awal saya ngeblog memang bukan untuk orang lain, tapi untuk diri saya sendiri, jadi saya gak merasa berdosa sama pembaca/pelanggan/visitors blog saya (emangnya ada ya?) hahaha :p

Singkat cerita, Agustus lalu, saya memutuskan untuk nekat pergi ke ibukota. Bukan untuk jadi wartawan atau editor (seperti posisi saya terdahulu), tapi untuk mencicipi pengalaman lain yang saya yakini tidak kalah menarik dari yang sudah-sudah. Ini suatu langkah baru buat saya, memutuskan untuk meninggalkan kota Bandung (yang bikin saya ketergantungan dan keenakan) bukanlah hal yang mudah.

Apa sih yang gak ada di Bandung? Tanya seorang teman waktu tahu keputusan saya.

Geli rasanya kalau saya sadar kepindahan saya ini probably gak akan memakan waktu yang lama. Tahukah, hanya 4 bulan saja! Tapi, ketika kamu mencoba keluar dari suatu tempat yang kamu anggap rumah untuk suatu tujuan yang kamu harap akan berkelanjutan, maka mulai saat itulah kepulanganmu "ke rumah" tidak akan sama lagi. Haha kalimat yang membingungkan, mungkin begini maksudnya. Setelah saya pindah ke ibukota, secara harfiah saya jadi sulit menempatkan kata "pulang" dan "rumah". Tapi, secara derivatif/turunan, saya jadi makin paham makna "pulang" dan "rumah".

Beruntungnya, 3 bulan keluyuran bukan berarti saya gak ngapa-ngapain, dan gak bawa apa-apa. Ada sedikit oleh-oleh yang saya rangkum melalui lensa kecil...


Senangnya dapet ID ini, sekalipun 'hanya' berstatus intern :p

i have my own cubicle :D
                                    

view outside my cubicle @ 9th floor Thamrin Tower Jakpus
                             

in the middle of "another-concrete-jungle"


me and my partner in crime, Fahmi Ramadhan


me and my best friend + co-worker, Angga Dwi Martha @Kupang


 saat transit di Denpasar, menuju Kupang


my very first time landing in Kupang!


eksotisnya Kupang


saya dan Costan, aktivis pemuda asli Kupang @Lasiana Beach NTT


menengok proses pembuatan kain tenun khas Kupang yang mendunia


Ini dia sumber kebanggaan masyarakat Kupang, pohon lontar! 

Sebetulnya masih ada lagi beberapa oleh-oleh kecil dari perjalanan saya selama 3 bulan ke belakang. Well, berhubung hari ini udah 1 hari menuju keberangkatan ke Bali dan 3 hari menuju D-Day (which i've been working for in this past 3 months--Global Youth Forum in Bali 4-6 December 2012) jadi saya harus kembali kerjaaaaa! Satu simpulan, saya sebut perjalanan baru ini sebagai "lelah yang menyenangkan".

I'll keep you updated for another story of "lelah yang menyenangkan"! :D


Friday, 24 August 2012

desk

H+4 Lebaran means "jobless" for me. let see around!

mejanya berdaki, 
meski pun udah digosok tetep aja berdaki :(

males bikin phonebook, ketauan joroknya :p

post it everywhereee 

when tea met nationalism

mabok eyd, sayang KBBI nya gak dibawa

celengan merangkap pembatas buku dadakan

telpon ini berfungsi buat verifikasi berita ke daerah,
kadang juga jadi operator dan dibentak-bentak bule

view di sebelah kiri meja
kalo siang silau, kalo hujan romatis

view di belakang meja, guess what? 
my boss office! *jackpot bgt*

that's all. happy weekend all :D

CHEERS!

Tuesday, 24 July 2012

#5 Makanan Kesukaan versi saya! :)

nah, minggu ini temanya rada-rada susah: makanan yang kamu suka/gak suka.
iya, susah. soalnya semua makanan saya suka. dan saya cuma punya satu pantangan: seafood. itu pun gak semua jenis seafood. jadi buat edisi minggu ini, saya bakal share ttg empat makanan favorit dan satu jenis makanan (yg sebenernya saya suka tapi...) yang harus saya hindarin. meski pun lagi puasa, gak apa-apalah ya kita cerita sedikit soal makanan hahaha. ini nih..

Tuesday, 17 July 2012

me & the coolest spots @bandung

Saya mungkin tergolong sebagai orang yang narsis sama kotanya sendiri. Entahlah, bukan berarti etnosentrisme, tapi yang jelas saya memang sangat bangga menjadi warga kota Bandung. Buat saya, kota ini selalu menarik, dan akan terus menarik meski habis sudah setiap sudutnya saya ubek. oh ternyata, kota saya gak cuma menarik buat penghuninya aja, tapi juga para tetangga dari kota sebelah yang doyan menjadikan kota saya sebagai "halaman belakang" rumah mereka. Nah, herannya, lokasi-lokasi favorit yang seringkali diserbu pendatang ini justru gak ada satu pun yang masuk list tempat favorit versi saya. Jadi failed abislah kalo kamu jadiin tulisan saya ini sebagai guideline "Bandung where to go", eh atau jangan-jangan bisa jadi referensi baru? NAH

Monday, 16 July 2012

#SemingguSatu Starts here! :)

i welcome you to my new weekly activity: #SemingguSatu!

Tertarik dengan tweet seorang teman, @annelisbrilian tentang #SemingguSatu, saya pun langsung cari tahu apa sih #SemingguSatu. oh ternyata, seminggu satu merupakan "ajakan" buat para blogger untuk (at least) menghasilkan satu tulisan dalam satu minggu sesuai tema yang udah ditentuin. kalo liat dari timeline twitter, "ajakan" ini berasal dari idenya abang-abang ini-->@fanabis dan @kelakuan :p

Saturday, 7 July 2012

Social Media for Social Movement!


“Technology is nothing. What's important is that you have a faith in people, that they're basically good and smart, and if you give them tools, they'll do wonderful things with them. (Steve Jobs)

Siapa yang gak punya Facebook? Situs jejaring sosial temuan Mark Zuckerberg ini langsung laris manis setelah diluncurkan pada Februari 2004 lalu. Ibarat jamur di musim hujan, semua kalangan dari berbagai usia pun beramai-ramai membuat akun dan mulai terhipnotis kecanggihan Facebook dalam ‘mendekatkan yang jauh’ sekaligus ‘mempertemukan yang lama tak jumpa’. What a small world, itulah yang ada dibenak para penggunanya. Kehadiran Facebook memang disambut baik, tak  hanya di negara asal sang penemu, Amerika, tetapi juga in another part of the world, termasuk Indonesia. Tapi, apakah Facebook ‘sebaik’ dan ‘seramah’ itu? Well, let’s check this out!

Sunday, 24 June 2012

"iri tanda tak (mampu) bahagia"

cuma mau sekedar berbagi, tanpa maksud lain.
sejumlah negara meyakini, kebahagiaan suatu negara bisa rusak seketika jika para penduduknya memiliki "suatu rasa" yang, menurut mereka, paling ditakutkan dan dihindari. kalau disederhanakan mungkin akan seperti ini; mustahil suatu negara akan bahagia, jika penduduknya masih memiliki "rasa ini". well, the big question is, "rasa" apakah itu?

Monday, 21 May 2012

Taiwan Where to Go

Setelah berpisah dari Republik Rakyat Cina (RRC) pada tahun 1949, kepemerintahan Republik Cina atau Republic of China (ROC) seluruhnya pindah ke Kepulauan Taiwan. Sejak saat itu ROC lebih kita kenal dengan sebutan Taiwan. Negara yang sempat dikenal karena grup F4 di serial Meteor Garden yang fenomenal itu ternyata menyimpan segudang tempat wisata yang tak kalah menarik dari negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Jepang, Cina, dan Korea. Dari sekian banyak tempat menarik, berikut sejumlah tempat yang wajib dikunjungi kalau kamu bertandang ke negara ini.

Tuesday, 15 May 2012

“Virus” Menular ala Van Houten dan Veenhoven



Creativity is contagious, pass it on”—Albert Einstein
Betul. Kreativitas memang menular, setidaknya itulah yang terus ditularkan Van Houten dan Veenhoven. Keduanya lahir dan besar di Belanda, yang satu dikenal dengan sebutan “bapak pemilik pabrik cokelat yang legendaris” dan satunya lagi dikenal sebagai “bapak pemilik riset kebahagiaan”. Meski lahir pada masa yang berbeda, namun saya rasa keduanya memiliki kontribusi besar dalam melahirkan negara yang berbahagia. Ya, keduanya kreatif dalam menciptakan kebahagiaan.

Monday, 20 February 2012

it always be an unbirthday gift :)


"aaaaaaa very merry unbirthday to you! to me!," said March Hare when they were in the tea party (a very merry unbirthday song--Alice in Wonderland).

***

dulu, saya gak terlalu ngerti makna dari "unbirthday" atau "unbirthday gift". saya menilai itu terlalu naif. ketika seseorang memutuskan untuk tidak merayakan hari ulang tahun--siapa pun, sebagai hari yang spesial sampai-sampai harus dirayakan. saya yakin, gak bakal ada satu pun orang yang berani nolak ketika dapet hadiah atau kue saat hari ulangtahunnya. meski, dengan menerimanya, berarti seseorang itu harus kehilangan semangat "unbirthday".

Saturday, 11 February 2012

bahasa sendiri

kata mereka, kata-kata saya sulit dimengerti
mereka bilang, saya punya bahasa sendiri

"kamu terlalu abstrak, dan, sulit disentuh," katanya.

saya tak pernah memohon seseorang untuk mengerti,
saya tak pernah menodong orang lain untuk memahami,

seseorang pernah bilang, "mata kamu selalu tampak menggebu"
"begitulah semesta di mata saya," kata saya, singkat.
"apakah saya termasuk dalam 'semesta' itu?" katanya.
"siapa pun boleh keluar-masuk"

satu ketika, seorang teman bertanya, "kenapa kamu selalu punya pertanyaan?"
"karena saya hidup," jawab saya, seketika.
"apakah pertanyaan itu simbol kehidupan?" tanyanya lagi.
"setidaknya, dalam sudut pandang saya, ya."
"kamu sulit dimengerti," katanya.
"memang gak ada yang harus dimengerti," jawab saya sekenanya.

memang tidak ada yang harus dimengerti. teori-teori itu sekali pun.
semua teori itu hanya rekonstruksi dari pemikiran seseorang, hanya saja dia lahir lebih dulu.
dan, kita, saya, terjebak dalam hegemoni yang menggiringnya pada pembenaran.
teori itu adalah bahasa mereka--para pendahulu, dalam memaknai sesuatu.
kita, dan saya, punya bahasa sendiri.

kita pun berhak berteori.

sekali lagi, tidak perlu ada yang harus dimengerti, sekali pun tulisan ini.

Friday, 10 February 2012

semua ada waktunya

semua memang ada waktunya
seperti matahari yang terbit lalu tenggelam
serupa daun yang mengering dan jatuh ke tanah

waktu menjanjikan kita dua hal,
ketepatan dan giliran

ketepatan, menyingkirkan kemungkinan dan kebetulan
giliran, menepis keseragaman agar terasa istimewa

waktu tidak pernah ingkar
tak seperti manusia yang pandai mematahkan jarum jam

bahkan, ketika tidur sekalipun
waktu terus hidup menyaksikan kita
meski tak punya nyawa, 'ia' punya suara
dalam bahasa menit, detik, dan milisekon

dengar, waktu berucap, "semua ada waktunya"



#untuk jurnal-jurnil yang mulai 'berserakan'

Thursday, 2 February 2012

kisah di balik februari

“ruang adalah alasan, sedetik waktu adalah kemungkinan. Maka, ucapkanlah ketika ruang dan waktu beririsan….”

***

Bandung, 14 Maret 1970—14:35 WIB

Kursi itu berderik, laki-laki itu berdiri sambil membalikan badannya. Dari ujung mata, aku tahu dia mencuri pandang ke arahku. Aku tak berani menatap langsung sosok tegap dengan rambut hitam pekat, alis tebal, kulit kecokelatan, mata tajam, pipi tirus, tahi lalat di sikut kanannya, dan….ah, terlalu banyak yang aku tahu tentang dia. Meski ada satu hal yang aku tak tahu hingga kini, perasaan aneh yang menimpaku. Rasanya seperti menelan kupu-kupu hidup-hidup, dan membiarkannya meluncur dari kerongkongan menuju rongga dada, kemudian membiarkannya menari-nari dalam perut.

***

Bandung, 14 Maret 1970—14:35 WIB

Dia sedang apa? Aku pun beranjak dari kursi. Inilah satu-satunya cara agar aku bisa melihatnya. Dia duduk tepat di belakangku. Perempuan yang…baiklah, terlalu sulit bagiku untuk menggambarkannya. Lagi pula aku tak pernah tahan untuk berlama-lama memperhatikan setiap jengkal rupanya. Terlalu menyiksa. Ya, ini terkadang menyenangkan, namun juga sering membuatku seperti terlempar. Jauh dari kenyataan. Apalagi setelah melihat benda logam yang melingkari jari manis di tangan kiriku ini. Pertanyaannya: kemana saja kamu selama ini? Kenapa baru muncul?

***

Bandung, 26 April 1970—09.15 WIB

Ruang perkuliahan ini tampak menyenangkan, bukan karena sebentar lagi gelar sarjana akan kukantongi, tapi lebih karena dia yang menyapaku. Memberiku tumpukan buku, katanya “untuk persiapan sidang nanti.” Aku tak peduli tumpukan buku itu. Aku hanya peduli pada jari manis sebelah kirinya ketika dia menyerahkan tumpukan buku itu. Aku hanya ingat kata, “terimakasih”. Selebihnya semua tampak abu-abu.

***

Bandung, 26 April 1970—09.25 WIB

Dengan segala keberanian, aku buat sebuah keputusan. Dia harus tahu, meski hanya sekedar tahu. Tidak apa, yang penting dia tahu. Aku ambil cara klasik, menyisipkan selembar kertas pada tumpukan buku yang baru saja kuberi padanya. Untuk persiapan sidang? Itu Cuma modus. Ada yang lebih penting dari itu. Sebuah pertemuan. Kutulis nama tempat, hari, dan waktu. Semoga ini moment yang tepat, meski aku tahu ini terlambat.

***

Bandung, 26 April 1970—09.25 WIB

Rasanya ingin ku robek dan ku makan saja tumpukan buku di atas meja ini. Kalau perlu kulempar tepat di mukanya. Berharap wajah itu akan lebam, sehingga tak ku kenali lagi wajah itu. Siapa dia? Berani-beraninya merusak pikiranku. Baiklah, aku harus menghapus semuanya. Lebih baik tak usah ku simpan buku-buku ini. Hanya akan merusak konsentrasiku saja. Tak akan aku biarkan tangan ini membuka lembarannya, walau hanya satu halaman saja. Ok, siang ini juga, akan ku jual buku-buku ini ke tukang loak. Tak peduli mereka menghargainya berapa, kalau perlu kuhibahkan saja buku-buku ini. Yang penting tak usah aku lihat lagi tumpukan buku ini.

***

Bandung, 6 Mei 1970—19.56 WIB

Semoga cara klasik ini berhasil. Aku yakin dia pasti datang. Dia pasti datang. Dia pasti…tapi ini sudah lewat dari waktu yang kutentukan. Kenapa dia belum datang juga? Atau memang dia tidak akang datang karena tidak mau datang? Apa aku salah menuliskan waktu? Atau aku salah menuliskan nama tempat? Hah..kenapa tidak kupastikan dulu sebelumnya, bodoh. Dua gelas cokelat dan satu gelas air putih menemaniku sambil terus menunggunya, tapi dia tak muncul juga. Oh, mungkin dia memang enggan. Padahal, hari ini aku baru saja mengambil keputusan terbesar, memutuskan yang sudah aku jalin. Melepaskan benda logam di jari ini seperti membuat keputusan baru yang bahkan tidak ada jaminannya. Tapi, aku adalah orang yang selalu menghargai segala pilihan yang aku ambil. Aku baru saja akan menyatakannya. Ekspektasiku terlampau tinggi, nyatanya dia tidak muncul sedikitpun. Waktuku habis, kini yang tersisa tinggalah kesimpulan sepihak. Tak apa, dengan cara seperti ini, akan lebih mudah bagiku untuk membuang rasa.

***

Chicago, 28 Juni 1970—8.20 AM

Lebih baik di sini. Bukan untuk menghindar, tapi mencari lingkungan baru yang kelak menunjang karirku. Mungkin, di kota ini aku akan menemukan sosok baru, penunjuk jalan yang sesungguhnya. Sulit, itu pasti. Tapi ini memang lebih baik. Dari pada berharap pada sesuatu yang bukan digariskan untukku. Ini memang lebih baik.

***

Bandung, 14 Juli 1970—23.10 WIB

Bertemu tidak, yang ada aku malah kehilangan jejaknya. Setelah lulus, dia pergi. Saluran apa yang bisa kugunakan? Tak ada. Jika keinginanku untuk membuang rasa ini berhasil, maka akulah pembohong terbesar. Rasa ini tidak beranjak sedikit pun, malah mengisi sisi kosong lainnya, dan terus mengisi kekosongan lainnya. Terisi penuh. Sialan.

***

Chicago, 4 Mei 1972—7.45 AM

Benar. Di sinilah karirku menemukan jalan. Dalam waktu seminggu, 3 sampai 5 tulisanku terpampang di sudut harian internasional ini. Aku sibuk menulis kata dan kalimat, dan juga sibuk melupakannya. Keduanya saling berbanding terbalik. Aku bahkan tak pernah tertarik, melihat sosok lain yang menurut rekan sekantorku menarik. Sendiri, saat ini memang lebih baik.

***

Bandung, 4 Mei 1972—08.10 WIB

Aku tahu. Aku tahu dia memang bisa. Aku tersentak ketika suatu pagi membuka halaman koran nasional nomor satu, dan melihat namanya di sudut halaman. Kini dia bekerja sebagai perwakilan redaksi yang ditempatkan di benua seberang. Ini memang yang selalu menjadi keinginannya. Dan dia berhasil. Baiklah, akan kukirim kartu pos ke alamat redaksinya. Hanya ini satu-satunya cara untuk bisa berkomunikasi lagi dengannya. Setidaknya, aku tahu alamatnya. Kartu pos ini, akan aku kirim hari ini juga. Pesannya singkat, tapi merangkum semua kegelisahanku selama dua tahun ini. Sebuah pernyataan. Aku berjanji, jika kali ini tak ada jawaban, maka aku akan berhenti.

***

Chicago, 17 Juni 1972—8.20 PM

Apakah dia baca tulisan-tulisanku? Kenapa aku tak bisa berhenti peduli padanya?! Mengapa aku harus peduli pada seseorang yang mungkin, ya mungkin, sudah bahagia dengan perempuan pilihannya, yang memang, sayangnya, bukan aku.

***

Bandung, 20 Juni 1972—23.15 WIB

Tuhan, bahkan kartu posku saja tak dibalasnya.

***

Chicago, 22 Juni 1972—3.20 PM

Baiklah, dia memang tak membaca tulisan-tulisanku.

***

Bandung, 13 Maret 2002—17.08 WIB

Rambutku sebagian memang sudah memutih, tapi ingatanku pun masih putih jelas. Dari dia yang tidak pernah membalas. Aku tetap memutuskan untuk sendiri, hingga detik ini.

***

Chicago, 13 Maret 2002—7.21 PM

Aku sudah tidak sanggup lagi terjun ke lapangan. Kini aku lebih senang menulis tentangnya, untuk sebuah kolom cerita bersambung di halaman majalah internasional untuk perempuan. Hanya dua hal ini yang pernah membuatku benar-benar jatuh cinta. Dia, dan menulis. Tak ada lagi. Bahkan, sampai usia yang hampir larut ini.

***

Bandung, 8 Juli 2003—11.12 WIB

Seluruh tubuhku seperti tersedot, yang tertinggal hanya kulitnya saja. Aku tak sanggup membaca kabar ini. Semua huruf tiba-tiba menjelma menyerupai kunang-kunang. Hanya beberapa kalimat yang masih bisa kucerna: penulis perempuan kebanggaan Indonesia tutup usia. Ini pasti salah. Apalagi kalimat berikutnya yang menyatakan dia meninggal dalam kesendirian. Apa kesendirian? Sendiri?

***

Bandung, 14 Februari 2012

“Sebuah kartu pos berumur 42 tahun baru saja ditemukan oleh sejumlah staf kantor pos pusat ketika akan mengganti peti surat yang telah digunakan sejak tahun 1956. Kartu pos yang ditulis pada 1970 itu ditemukan terselip di antara celah peti. Dalam kartu pos tersebut tertulis nama pengirim, Angga Padmanegara, yang ditujukan untuk Kinara Mawarni, penulis terkenal era 70-an. Pihak kantor pos pusat menyesalkan hal ini, dan mengakui kejadian tersebut sebagai akibat dari kelalaian pihaknya pada masa itu. Mereka berjanji, kejadian serupa tidak akan terulang lagi.”

***

Wednesday, 4 January 2012

Pertemuan di atas Ketinggian Ribuan Kaki #2

---------"Hoalaaaaah..., bilang atuh dari tadi," katanya seketika sambil memukul-mukul bahu saya pelan. Saya bengong.***

Saya masih bengong. Serius, ibu itu sama sekali gak tampak seperti orang Indonesia. Matanya sipit, kulitnya memang gak putih, tapi ya kuning langsat. Rambutnya keriting terurai dan stlylish. Belum terlalu tua, tapi juga sudah tidak muda lagi. Yaaa usianya mungkin sekitar 40 tahunan.

Ibu : adek dari Indonesia kan?
Saya : i-ya bu (sambil mengangguk)
Ibu : ya ampun, saya pikir adek orang sini loh (Taiwan). habis mukanya kaya orang sini
Saya : (lagi dong disangka orang Taiwan) wah masa sih bu?
Ibu : iya bener, kalau tadi gak bilang dari Indonesia, saya gak bakal nyangka.
ngapain adek ada di sini? kuliah?
Saya : (alhamdulillah gak disangka TKW lagi hahaha) bukan kuliah bu, tapi ada kegiatan buat wakilin kampus

Ibu : wah..emang acaranya dimana? Taipei?
Saya : bukan bu, di Kaohsiung
Ibu : ohya? saya juga kerja di Kaohsiung.
Saya : enak ya bu kotanya. Betah saya di sana. Padahal cuma 11 hari. Ibu di sana kerja?
Ibu : iya dek, saya kan TKW (katanya tanpa ragu)
Saya : oohhh...(saya diam sejenak, bener nih pesawat curiga isinya TKW semua, mentang- mentang saya beli tiketnya yang kelas ekonomi haha. tapi biarlah, malah seru bisa ngobrol)

Saya pun mulai mematikan film yang semula sedang saya tonton. Ini lebih menarik, pikir saya.

Saya : ibu kerja apa emangnya bu? (sambil membenarkan posisi menghadap ke si ibu, artinya saya tertarik untuk melanjutkan obrolan)
Ibu : saya kerja ngejagain sama ngerawat orang-orang tua

Saya masih belum percaya si ibu ini adalah penjaga orang lanjut usia. Saya perhatikan, ini si ibu beda sama mbak-mbak yang tadi saya temuin sebelumnya di ruang tunggu bandara. Ibu ini sama sekali gak medok atau mengeluarkan istilah bahasa Jawa.

Saya : oooh..emang itu kerjanya gimana aja sih bu?
Ibu : ya gitulah dek, nyuapin, ganti popok, ngajak jalan-jalan, kasih obat, kadang ngajak ngobrol juga
Saya : wah? ngajak ngobrol? Hebat, berarti ibu jago bahasa Mandarin ya!
Ibu : ah gak jago-jago amat kok. Dulu waktu pertama dateng kesini, saya malah cuma bisa dasar-dasarnya aja, tapi lama-lama karena setiap hari ketemu ya jadi bisa

Saya : sebelumnya belajar dasar-dasar dimana?
Ibu : ya di yayasan dek, kan saya bisa berangkat kesini juga karena ikut yayasan
jadi, sebelum bisa berangkat kesini, saya diajarin dulu bahasa mandarin, tapi cuma dasar-dasarnya aja. Terus, diajarin jadi perawat, gimana cara ganti popok, nyuapin
Saya : oh, jadi sebelum berangkat kesini ibu udah tau kerjanya jadi apa?
Ibu : iya, udah taulah

Saya : udah berapa lama emangnya bu kerja di Taiwan?
Ibu : kalau di Taiwan sih saya baru sekitar 4 tahunan, sebelumnya saya juga sempet kerja di Arab tapi cuma 2 tahun, gak lama. Habis itu balik dulu setahun ke Indonesia, baru berangkat lagi ke Brunei sekitar 4 tahun
Saya : oh jadi di sini bukan yang pertama bu? Wiiih ibu keren udah pernah kerja di 3 negara
Ibu : hahaha apanya yang keren dek? orang jadi pembantu

Saya diam. Padahal pernyataan saya sebelumnya itu benar-benar spontan loh. Gak ada maksud apapun.

Saya : bu, enak gak sih kerja jadi TKW?
Ibu : enak gak ya? Ya sama aja sih yang namanya kerja. Enaknya bisa liat negara lain, terus katanya jadi pahlawan ya? apa sih saya lupa..
Saya : oh pahlawan devisa maksudnya bu?
Ibu : haha iya. Tapi ya banyak juga gak enaknya dek. Harus ninggalin keluarga, jauh dari orangtua, kadang juga takut, gak kenal siapa-siapa. Tapi ya saya butuh, jadi mau gak mau ya harus berangkat (raut wajahnya mulai berubah, matanya menerawang ke jendela pesawat di samping saya)

Saya : emangnya kalau di Indonesia susah ya bu dapet kerjaan? kenapa gak di Indonesia aja?
Ibu : susah iya, terus juga gajinya dikit, mana cukup
Saya: emangnya kalau jadi TKW gajinya banyak ya bu?
Ibu: yah lumayanlah, cukup buat sekolahin anak sama biayain orangtua saya di kampung

Sebenernya arti pertanyaan saya itu adalah "berapa sih bu gaji jadi TKW di Taiwan?" Tanpa bermaksud kurang ajar saya memutar otak untuk memancing jawaban tersebut.

Saya: selain bisa sekolahin anak, bisa beli rumah juga gak bu?
Ibu: bisa, saya beli kos-kosan di kampung saya, yang pegang orangtua saya. Lumayan itu juga bisa nambah-nambah
Saya: wah berarti gajinya besar ya bu? (masih berusaha mancing. Tapi, ah percuma si ibu ini gak bakal nangkep sinyal yang saya lempar. Baiklah..) kalau boleh tahu berapa sih bu sebulannya?
Ibu: hmm..sekitar 20 ribu NTD (new taiwan dollar), kalau di ke rupiahin ya sekitar 6 jutaan
Saya: ooohhh...

Saya : ibu tau dari siapa dulu bisa sampai pergi jadi TKW?
Ibu : tau dari temen, dia udah lebih dulu pergi. Jadi udah berpengalaman. Dia bilang, enak kok, gajinya lumayan. Yaudah saya coba, buat pertama sih cuma bayar ke yayasan
Saya : berapa bu bayarnya?
Ibu : saya lupa tuh, udah lama juga sih. Nah, kalau udah sekali berangkat, mau berangkat lagi gampang. Kaya saya, saya udah pernah ke Arab sama Brunei, jadi pas saya mau berangkat lagi ke negara lain, jadi lebih gampang dibanding temen-temen yang baru.
Saya : oooh gitu ya, pantesan ibu jadi ketagihan ya bu (tertawa ringan)
Ibu : iya (senyum)

Sebenernya saya udah gatel pengen tanya soal gimana perlakuan majikannya, tapi kayanya kecepatan. Santai. Pelan-pelan. Saat itu, pramugari datang menyodorkan makan siang. Kami pun makan siang sambil mengobrol hal-hal ringan, tapi ternyata cukup penting, seperti....

Ibu : adek asli mana?
Saya : saya asli Bandung bu
Ibu : oooh orang Bandung, eta geura sama-sama orang Sunda atuh ya
Saya : loh emang ibu orang Bandung juga?
Ibu : bukan, saya mah asli Cianjur. Ini juga nyampe Jakarta saya mau langsung pulang ke Cianjur
Saya : Ya ampuuun, ibu orang Cianjur tooh
Ibu : ih meuni seneng ibu dengernya, ada orang Sunda yang bisa kesini buat belajar
Saya : ah cuma bentar bu, cuma 11 hari
Ibu : nanti langsung pulang ke Bandung?
Saya : iya bu
Ibu : oohhh..., kuliah dimana emangnya? semester berapa?
Saya : saya udah semester akhir bu, kuliah di Unpad
Ibu : wooh Unpad, haduh alhamdulillah ya, ih seneng dengernya. Jadi inget anak

Kami melanjutkan makan siang. Sibuk masing-masing.
Saya mencari waktu yang tepat untuk bertanya lebih lanjut, terutama tentang perlakuan majikan si ibu dan teman-teman TKW. Saya lihat si ibu dari ujung mata sebelah kiri, rupanya dia lagi sibuk membolak-balikan halaman inflight shopping magazine yang disediakan pihak airlines. Saya penasaran, akhirnya saya ambil satu majalah sama yang tersimpan di selipan jok depan. Majalah ini ekslusif sekali. Oh ini bukan majalah, tepatnya ini katalog yang isinya menjual produk-produk branded. Mulai dari parfum, handbag, cokelat, kosmetik, aksesoris, dan merchandise lainnya--yang memang sengaja disediakan untuk penumpang yang lupa atau tidak punya waktu untuk membeli oleh-oleh ketika masih berada di Taiwan. Hampir semua model dalam katalog itu adalah model barat lengkap dengan rambut pirang, hidung mancung, badan semampai dan 'awkward-style' khas model masa kini. Tapi, bukan model-model ini yang mencuri perhatian saya, melainkan 'price tag' yang mereka tawarkan. Daftar harga yang dicantumkan berdasarkan dua jenis mata uang (new taiwan dollar dan US dollar) itu cukup meyakinkan saya bahwa sisa uang yang ada di dompet saya jauh, bahkan sangat jauh, dari deretan angka tersebut.

"Cukup 'window shopping' ajalah," pikir saya.

Si ibu masih asik melihat-lihat isi katalog, sampai akhirnya dia memanggil dua orang pramugari yang sejak tadi lalu-lalang mendorong kereta barang. Si ibu mulai berbicara mandarin dengan pramugari itu, sambil menunjuk gambar parfum. Oh, oke, kini si ibu tengah berbelanja, ya 'belanja di atas pesawat' yang harganya minta ampun itu!

Saya memperhatikan. Tak tanggung-tanggung, si ibu mengambil 4 kotak parfum dengan jenis yang berbeda. Lalu saya tengok katalog tadi, yang saya ingat satu dari empat parfum itu harganya sekitar 2500 NTD atau sekitar 800 ribu rupiah. Dan si ibu beli 4 kotak sekaligus, okey.
Bukan apa-apa, yang saya tahu, semua produk di katalog ini harganya sudah 'digetok'. Artinya, bila dibandingkan berbelanja 'di darat', si ibu bisa mendapatkan produk sama persis, dengan harga yang jauh lebih murah. Tadinya, saya pengen kasih tahu si ibu, tapi...siapa saya? Yasudah biarlah si ibu menikmati belanjanya.

Ibu: ini buat anak saya (sambil menunjukan botol parfum berwarna pink), yang ini buat adik saya sama keponakan-keponakan
Saya: wah pasti anak ibu seneng (bingung saya harus merespon apa) Ohya, emang anak ibu umurnya berapa?
Ibu: 19, sekarang lagi cari kerja, kemaren telpon malah pengen nikah
Saya: waah, terus apa kata ibu?
Ibu: ya jangan dululah, kerja dulu, baru nikah. Mana ibu juga belum pernah liat calonnya. Nih anak ibu (sambil menunjukan foto di hp-nya)

Demi apa pun, serius, anak si ibu ini cantik!

Saya: waaah cantik bu!
Ibu: oh iya? masa sih?
Saya: serius bu, cantik
Ibu: tapi kasian dia, udah dari kecil ditinggal ibunya, eh ditinggal bapaknya juga

Saya diem, bingung harus ngomong apa.

Ibu: makanya saya akhirnya mau jadi TKW juga ya gara-gara bapak dia kabur. Saya kan bingung harus ngegedein anak ini, makanya saya titipin dia ke orangtua saya
Saya: oooh, jadi anak ibu cuma satu?
Ibu: iya, cuma ini satu-satunya. Makanya saya gak mau dia nikah dulu, saya sih pengennya dia bisa kuliah
Saya: iya bu, kalau ada biayanya sih mending kuliah dulu
Ibu: terus kalau dia nikah, saya takut dia ditinggalin kaya saya dulu (sambil lihat ke arah saya, sedikit memelas, dan saya salah tingkah)


Saya bingung. Beneran bingung harus ngomong apa.

Ibu: hah saya mulai mual nih (si ibu bergerak meraih tasnya, mengubek isinya, lalu mengeluarkan sejenis kayu putih)

Oh tidak! Jangan bilang si ibu ini mau muntah.

Ibu: maaf ya, biasa orang kampung hehehe
Saya: gak apa-apa bu (padahal bohong)
Ibu: kayanya kecapean, sampai kemaren ibu masih kerja juga. Padahal hari ini kan pulang. Terus tadi malem juga gak bisa tidur, degdegan mau pulang

Okey, sekarang waktunya buat nanya tentang majikan!

Saya: wah sampe kemaren masih kerja juga?
Ibu: iya
Saya: emang kerjanya 24 jam gitu bu? (belagak bego)
Ibu: ya enggaklah, tapi kita harus terus disitu, jagain si aki-aki sama nini-nini. Kalau mereka mau buang air, ya kita harus siap. Ngasih obatnya aja kan ada yang 4 jam sekali.
Saya: hahaha aki-aki nini-nini..
Ibu: iyalah, saya kalau lagi kesel sama capek, sama temen-temen yang lain suka cerita pake bahasa Indonesia. Ya mereka gak akan ngerti ini. Pokoknya saya sama temen-temen Indini (sebutan Indonesia bagi orang Taiwan) punya istilah sendiri buat sebut majikan kita, "grandong". Jadi kalau kesel atau capek, kita suka bilang, "heeeuuuuh dasar grandong..grandong,"
Saya: hahahahahaha serius bu?
Ibu: iya
Saya: itu ngomongnya di depan mereka?
Ibu: iyalah di depan mereka, tapi ngomongnya lembut, jadi mereka gak akan sadar kalau kita lagi ngomongin mereka
Saya: ya ampuuuunnn hahaha, lagian mereka juga gak tahu ya grandong teh apa
Ibu: iya

Saya: tapi ibu tetep dapet libur kan?
Ibu: dapet, biasanya kalau gak sabtu ya minggu
Saya: perlakuan mereka baik kan bu?
Ibu: baik sih, alhamdulillah saya dapet yang baik
Saya: kalau ibu ngelakuin kesalahan gimana?
Ibu: paling dimarahin terus dikasih tahu, mereka maklum soalnya tahu saya belum jago bahasa mandarin, itu waktu pertama-pertama ya
Saya: alhamdulillah ya bu kalau gitu, soalnya kan suka ada yang disiksa
Ibu: kayanya kalau di Taiwan gak ada yang begitu deh, kalau pun ada ya paling kitanya yang salah
Saya: oooh gitu

Ibu: kalau saya sih takutnya bukan sama orang Taiwan, justru sama orang 'kita'
Saya: hah? maksudnya bu?
Ibu: iya, saya takutnya malah pas mau pulang gini
Saya: takut sama siapa? (menarik nih!)
Ibu: saya kalau pulang itu suka degdegan, takut pas sampai di bandara soekarno hatta-nya

Saya: emang ada apa?
Ibu: jadi gini, kalau kita sampai di bandara tuh kita langsung dicegat sama travel. Masalahnya, kita gak bisa nolak. Nah, kalau kita ikut travel itu, iya bener kita dianter sampai rumah, tapi di sepanjang jalan uang kita dimintain terus. Pas naik, diminta. Pas mau isi bensin, diminta lagi. Pas mau sampe, diminta lagi. Malah kadang barang-barang kita diambilin. Aaah gak amanlah.

Saya: itu beneran bu?
Ibu: ya bener atuh, itu mah udah biasa. Pasti kaya gitu. Makanya, TKW lain mah suka minta jemput keluarganya, biar bisa nolak travel itu. Atau engga nelpon temen atau sodara yang di jakarta. Malah ada yang sampe bayar jasa, pura-pura jadi sodaranya yang jemput.
Saya: ya ampuun, jahat gitu sih bu..
Ibu: hhhh ya gitulah

Saya: terus ibu kenapa gak minta jemput sodara aja?
Ibu: saya gak ada sodara yang bisa jemput, makanya ini saya lagi bingung. Iya seneng bisa pulang, tapi males kalau udah inget kaya gininya
Saya: mana ibu bawa barang banyak ya?
Ibu: engga, untung saya udah kirim sebelumnya, lewat paket. Jadi barang-barang yang saya bawa sekarang cuma baju, itu juga sisanya

Saya: oh jadi ibu sengaja kirim barang-barang sebelum ibu pulang?
Ibu: iya, bukan saya aja, tapi semua TKW yang hari ini pulang ke Indonesia. Kita kan nge-paketinnya bareng-bareng. Soalnya udah tau, pasti bakal diambilin

Gila!! Mereka takut bukan sama majikannya, justru sama saudara se-negara-nya!!

Saya: emang gak bisa kabur bu? preman-preman itu bakal nyegat dimana?
Ibu: ya itu nyegatnya di setelah pemeriksaan paspor, kita dikumpulin di pojok. Kalau udah kekumpul langsung digiring. wah gak bisa kabur, kita kan paspornya beda. Mereka pasti tahu. Yang enak itu temen-temen saya yang dari Jawa, mereka gak keluar (check-out) di Soekarno-Hatta. Pas turun pesawat ini, mereka langsung nerusin pake pesawat domestik. Jadi bebas dari si preman itu.

Ya ampun, bahkan mereka lebih memilih untuk beli tiket penerbangan Garuda Indonesia yang domestik (yang lumayan mahal itu), dari pada harus 'kehilangan' uang dan barang mereka sebelum sampai di rumah.

Saya: kenapa uangnya gak dikirim dari waktu di Taiwan aja bu?
Ibu: ya terus masa saya gak bawa uang sama sekali. Pengiriman barang pake paket juga kan mahal
Saya: emangnya kalau kita ikut travel itu, biasanya abis berapa?
Ibu: kalau ditotal ya bisa sampai 2 jutaan, kalau kita bilang gak punya uang, mereka malah maksa
Saya: kenapa gak dilaporin aja sih bu? ke keamanan bandara gitu
Ibu: gak ngerti, harus gimana juga saya gak ngerti

Negara macam apa, yang membiarkan warganya merasa terancam, bahkan di negerinya sendiri! Ok, jangan dululah bicara soal perlindungan dari negara terhadap TKW yang bekerja di luar wilayah teritorinya. Ini, mereka datang dari rantau saja, bahkan jauh dari ucapan selamat datang yang hangat.

Ibu: dek, saya boleh gak ikut adek dulu ke bandung? pura-puranya adek itu keluarga saya, tapi nanti saya langsung naik bis ke Cianjur

DEG!!

Saya diam beberapa saat. Bingung. Sumpah, bingung. Saya pengen banget bisa nolong ibu ini, tapi bahkan saya juga tidak bisa menjamin keselamatan saya. Ini perjalanan solo-pertama saya. Gimana bisa, saya mengakhirinya dengan menjadi 'penyelundup TKW yang ketakutan karena preman travel'?

Dalam perjalanan-solo-pertama ini saya ingin menutupnya dengan manis. Dan menunjukan pada keluarga saya, "ya, saya bisa". Saya sengaja tidak meminta dijemput di bandara, saya sengaja memilih jasa pemadumoda, layanan bus primajasa dari bandara. Buat apa? saya ingin perjalanan seorang diri ini berlangsung sampai di kota saya, Bandung.

Tapi, apa saya tega menolak permintaan ibu ini?

Saya: hmmm...ayo aja bu, tapi nanti kalau ada apa-apa gimana? soalnya saya juga gak ngerti
Ibu: oh iya ya
Saya: maaf banget bu, bukannya saya gak mau bantu. Gini deh bu, saya temenin ibu sampai bandara, ibu bareng saya aja terus
Ibu: gak bisa gitu, pasti mereka periksa paspor saya

Saya berpikir keras, jujur saya gak mau terlibat dalam masalah complicated ini, tapi saya juga gak bisa pura-pura gak peduli sama si ibu ini, setelah kami ngobrol selama beberapa jam ke belakang.

Saya: bu, ada TKW yang dari Cianjur juga gak? atau yang di Jawa Barat?
Ibu: ada, tapi dia duduk di depan sana (dia menunjuk kabin depan)
Saya: nah, ibu bareng sama mbak yang itu aja, yang penting ibu jangan sendiri. nanti saya anter ibu ke mbak yang itu ya
Ibu: ohiya ya, saya sama si mbak yang itu aja deh
Saya: maaf ya bu, saya gak bisa bantu
Ibu: iya gak apa-apa

Sebentar lagi Jakarta menampakan diri di jendela samping saya ini. Saya bisa lihat jelas, si ibu semakin gugup, mulai gelisah. Pendaratan yang kurang mulus, ban pesawat dengan kasar menyentuh landasan. "Welcome to Jakarta," kata seorang pramugari, disambut dengan suara pilot yang menegaskan bahwa kami sudah sampai di destinasi terkahir.

Saya bergegas mengambil barang-barang, dan tidak lupa dengan janji saya untuk mengantar si ibu ini pada pihak yang aman, 'si-mbak-dari-Jawa-Barat'.

Saya: yang mana bu orangnya?
Ibu: itu..itu..

kami berlari kecil mencoba mengejar si mbak itu. Si mbak ini masih muda, mungkin umurnya sekitar 25-an.

Ibu: (menyebut namanya--saya lupa) bareng ya
Si mbak: eeh ibuuu, dari tadi saya cariin di kabin. Iya bu tenang kita bareng
Saya: hai mbak
Ibu: eh iya ini, mahasiswa Indonesia, tadi duduknya sebelahan, ngobrol deh
Saya: iya
Si mbak: oooh, hai. Eh bu, sebentar ya tunggu teman saya yang lain

Saya melihat, dari sekian banyak sekumpulan TKW, si ibu inilah yang (mungkin) paling tua. Wajar saja, si mbak ini tampak hormat pada si ibu.

Oke, mungkin ini waktu yang tepat untuk pamit. Setidaknya, saya sudah memastikan si ibu ini ada teman.

Saya: bu, saya duluan ya. Makasih udah nemenin ngobrol. Ibu hati-hati ya. Salam buat anak ibu.
Ibu: iya iya, sama-sama dek, makasih udah mau denger saya curhat hahaha. Sukses ya dek.

Saya membalikan badan, melangkah, dengan rasa yang bercampuraduk. Pikiran saya berlarian kesana kemari. Baru beberapa meter, saya tiba-tiba diam, "siapa nama ibu itu?"

Ya, kebodohan. Jurnalis macam apa yang lupa bertanya nama sumbernya? Oh, saya memang tidak sedang menjadi jurnalis, saya sedang menjadi diri saya yang tertarik dengan kisah si ibu. Jika saya menempatkan diri sebagai jurnalis, pada saat itu, sejak awal saya sudah gagal. Subjektivitas dan empati mendominasi percakapan kami dari pertama. Ah, sudahlah, saya memang sedang ingin jadi saya, bukan sedang bertugas. Jika sudah begini, apakah nama masih begitu penting?

Saya pun memaafkan kebodohan saya, dan menuntaskan rasa penasaran akan perjalanan-solo-pertama ini. Cerita ini cukup jadi oleh-oleh.***

Monday, 2 January 2012

Pertemuan di atas Ketinggian Ribuan Kaki #1

Hari ini saya menonton sebuah film (rekomendasi seorang teman) yang berhasil mengingatkan saya pada suatu pertemuan singkat. Judul film ini "The Help" diperankan Emma Stone, Viola Davis, dan Octavia Spencer. Tunggu, ini bukan film drama romantis atau thriller, tapi ini film tentang kesetaraan, hak asasi manusia, dan rasialisme. Ceritanya sederhana dan tidak berkesan 'berat'. Justru mengalir dan lumayan 'hidup'. Mengisahkan tentang komunitas pembantu kulit hitam di daratan Mississippi tahun 1960-an. Waktu itu rasialisme antara kulit hitam dan kulit putih masih sangat eksis. Perbudakan plus ketidaksetaraan jadi hal yang dipandang wajar dan 'sudah seharusnya'. Namun tidak berlaku bagi Skeeter (Emma Stone), seorang jurnalis di Jackson Journal yang 'ngeh' dengan ketidakberesan ini dan akhirnya memutuskan untuk menulis buku berisi sudut pandang para pembantu kulit hitam yang diperlakukan seakan mereka penghuni bumi kelas 2. Nah, saya gak bermaksud untuk me-review film ini, buat jelasnya silahkan tonton sendiri, tapi yang jelas tag film di cover-nya cukup menggelitik, dan saya pun memutuskan untuk membaginya. Di situ tertulis, "Change Begins with a Whisper". Sebenernya kalimat itu biasa saja, tapi entah kenapa kisah di film ini totally mengingatkan saya pada suatu pertemuan singkat dengan seorang TKW di dalam pesawat yang tengah melaju menuju Indonesia, Juli 2011 lalu.***

Sampai saat ini saya belum berhasil juga mengingat nama si "ibu ini". Dia seorang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang memutuskan untuk bekerja di Taiwan. Ada beberapa hal yang menarik yang saya temui sejak masih di bandara internasional Taoyuan, Taipei. Jadi waktu itu saya akan kembali ke Indonesia setelah mengikuti kegiatan di Kaohsiung, Taiwan. Ini adalah my-first-solo-trip, jadi saat itu saya sangat berhati-hati (bahkan kelewat hati-hati). Entah karena too excited jadinya gak mau ada hal yang saya lewatin.

Saya masih ingat, waktu itu jadwal penerbangan saya sekitar pukul 10 AM, masih harus menunggu sekitar 30 menit lagi. Saya duduk di deretan kursi ruang tunggu paling depan. Suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang (nampaknya sejumlah pengusaha) yang juga menunggu. Saya membuka laptop, sign in Twitter, dan mencoba membunuh waktu. Selang 5 menit kemudian, tiba-tiba suasana ruang tunggu itu berubah jadi riuh. Segerombol perempuan datang sambil membawa traveling bag berukuran macam-macam. Dandanan mereka rapi, dan ya..sebagian di antaranya cukup fashionable. Ada yang menenteng laptop dan hp. Ada yang bersepatu boots, ada juga yang berbalut over coat. Wajar saya menoleh dan memperhatikan mereka, toh tanpa mereka sadari mereka sudah membuat keramaian di ruang tunggu yang semula super-quiet itu. Kursi tunggu yang semula kosong pun seketika nyaris terisi penuh. Tak lama, muncul lagi sekelompok perempuan, dan yang kali ini lebih sukses lagi menimbulkan kegaduhan. Sebagian perempuan dari gerombolan pertama berhamburan memeluk perempuan dari kelompok kedua (yang baru saja datang). Seakan baru bertemu lagi setelah sekian tahun terpisah. Saya tebak, nampaknya mereka orang Filipin atau Thailand, atau jangan-jangan orang Indonesia? Sudahlah, yang pasti mereka semua berwajah Asia.

Saya kemudian mencoba menguping obrolan mereka, "hah percuma, semuanya berbahasa mandarin. Mana saya ngerti coba," dalam hati.

"Eh, tunggu, di sela-sela obroloan mandarin mereka kok ada bahasa yang saya kenal ya. Bahasa Jawa? Iya! Ini sih bahasa Jawa!," teriak saya masih dalam hati. Serius ini gerombolan orang Jawa? Tapi, siapa lagi coba yang ngobrol pake kata "nyong" dengan aksen medok, selain orang Tegal?

Tiba-tiba tiga dari mereka duduk di samping saya. Mereka masih ngobrol dengan bahasa mandarin. "Wah hebat-hebat juga ya bahasa mandarinnya," pikir saya. "TKW kah? atau...mahasiswa yang sekolah di sini?" dan saya sama sekali gak berani untuk menyapa duluan, kalau-kalau ternyata mereka bukan orang Indonesia.

Dan..mampus! salah satu dari mereka menyapa saya, pakai bahasa mandarin pula. Saya bingung dong musti jawab pakai bahasa apa. Bahasa Indonesia, gimana kalau dia bukan orang Indonesia? Bahasa mandarin, mana saya tahu! Akhirnya saya memutuskan untuk menjawab dengan bahasa Inggris, hah inilah yang paling netral.

"Sorry, i can't speak mandarin," ya mereka pikir saya bangsa Taiwan kali ya hahaha. Dua hingga tiga detik, kami terdiam---yeah, that's what we call an awkward moment, i guess.

Saya bisa membaca, mereka bingung harus jawab apa karena mereka gak bisa bahasa Inggris, tapi mereka juga tahu saya gak bisa bahasa mandarin. Tiba-tiba satu dari mereka menunjuk sambil bertanya, "you, Taiwan?", yang mungkin maksudnya: kamu orang Taiwan? Lalu saya jawab, "oh, no no, i'm Indonesian," dengan senyum (yang mungkin tampak maksa).

------saya diam------mereka diam----bertatapan satu sama lain----dan....

"Haaa ya ampuuuunnnnn, piye to ndak ngomong aja dari tadi gitu, orang Indonesia," teriak salah satu dari mereka. Yang lainnya, "haaaa Indonesia juga, dikirain orang sini (Taiwan-red)."
Yak, giliran saya yang bengong, "iya saya orang Indonesia," jawab saya.
"Loh mbak-mbak ini....," belum saya selesai ngomong (padahal saya bermaksud bilang "loh..mbak-mbak ini orang Indonesia juga?") salah seorang dari mereka bilang, "kita TKW yang kerja di sini. Adek ngapain?"

Jujur saya masih setengah kaget, serius mereka fashionable sekali (bukan maksud mendeskriditkan), tapi ya saat itu saya masih belum menyangka. "Kerja juga?," tanya temen sebelahnya. Buset, saya dikira TKW nih hahaha!

"Oh, bukan mbak, saya cuma sebelas hari di sini. Habis ikut kegiatan," sambil memaksa untuk tersenyum. "Oooh, iya iya. Mahasiswa ya, wah hebat ya bisa sampai sini. Saya juga sampai sini, tapi buat jadi pembantu, bukan buat belajar," katanya sambil ngeluarin bungkusan dari tasnya, yang ternyata cokelat kesukaan saya: M&M.

"Nih mau? Ini dikasih majikan saya. Dia punya banyak, tapi gak dimakan. Sayang," sambil nyodorin bungusan M&M besar ke hadapan saya. Saya ambil, sekaligus isyarat 'obrolan kita bisa berlanjut kan?'

"Oh menarik nih!" Cuma itu yang terlintas di pikiran saya.
Ini..ini..yang selama ini jadi topik berita di TV, ini nih yang selama ini jadi masalah yang belum kunjung beres, ini dia nih kesempatan buat ngobrol langsung sama perempuan-perempuan perkasa yang terpaksa ninggalin anak dan keluarganya, dan berani nembus rasa takut mereka. Selama ini mungkin saya cuma bisa bahas soal kekerasan yang dialami TKW Indonesia di komunitas kecil aja, seringkali juga di kelas perkuliahan (jadi topik analisis tugas berita, dll), atau di rumah sama papa atau kakak. Selama ini saya cuma dapat kesempatan wawancara dan nguber istri gubernur atau Kemenakertrans buat konfirmasi soal BNP2TKI, kalau ada (lagi) TKW yang disiksa atau terancam hukuman mati.

That's it.

Tapi saat itu, saya ada dihadapan (para) subjeknya. "Yang di sana juga TKW mbak?" tanya saya sambil menunjuk ke arah gerombolan pertama. "Iya, itu temen-temen saya. Banyaknya sih dari Jawa (Tengah-Timur), tapi ada juga yang dari Sunda (Jawa Barat)," katanya. Ok, tepatnya mereka bertebaran di hadapan saya.

"Udah berapa lama mbak kerja di sini?" saya berusaha menahan pertanyaan lainnya. Tunggu chie, santai..jangan sampai bikin mereka gak nyaman. Saat itu saya sama sekali gak terpikir untuk membuat feature atau tugas tulisan. Saya benar-benar mewakili rasa ingin tahu saya, itu aja. Tanpa 'bendera' apa pun. "Saya udah 4 tahun, dia 3 tahun. Rata-rata semua yang ada di sini (di ruang tunggu bandara saat itu-red) udah kerja 4 tahun di sini," katanya. "Betah ya mbak?" haduh, salah, ini harusnya jadi pertanyaan tengah aja. "Yaaaa..gitulah. Dibetah-betahin aja. Untung saya dapet yang baik," yang lain cuma ngangguk-ngangguk sambil mainin hp mereka yang merknya entah merk apa (hp buatan Taiwan kali yak).

Saya berusaha nanya sesantai mungkin, dan mengesankan bahwa 'ini gak penting-penting amat sih'. "Emang kerjanya apa mbak?" tanya saya. "Kebanyakan dari kita sih jadi perawat," wah! tenaga profesional dong, batin saya. "Ya gitulah, ngerawat dan jagain kakek-kakek nenek-nenek. Kalau di Indonesia panti jompo gitu," terang yang satunya. "Ooooh," kata saya sambil (tetep) senyum.

So far, mereka masih nyaman, bahkan nampaknya mereka makin tertarik ngobrol sama saya. Kini giliran mereka balik bertanya, "acara apaan dek? dimana? Taipei?", "ada konferensi gitu mbak. Bukan di Taipei, di Kaohsiung. Kotanya enak ya, sepi gak kaya Taipei, padet," kata saya. "Ooh Kaohsiung emang enak dek, saya sempet setahun pertama ditempatin di sana". "Oooh..iya emang enak sih," lanjut saya, mulai bingung untuk cari pertanyaan yang lebih 'dalem' lagi.

Sayang, pesawat terlanjur siap. Kami berpamitan. Ya, meski pakai pesawat yang sama, kursi kami mungkin berjauhan kan. Perasaan saya campur aduk, antara senang, bingung, dan penasaran. Wajah mereka semua tampak bahagia, bahkan gaya mereka 'makmur'. Semua ditempel di badan mereka, mulai dari aksesoris sampai gadget. Syukurlah, batin saya. Memang gak semuanya seperti yang diberitakan. Banyak juga yang dapat majikan baik, dan memperlakukan mereka dengan layak.

Di dalam pesawat. Saya dapat tempat duduk di samping jendela. Posisi yang paling saya suka. Di samping saya, ada seorang ibu, orang Taiwan, dan ramah. Saya tersenyum ke arahnya, lalu duduk. Benar saja, mbak-mbak tadi tidak tampak di cabin saya. Pesawat pun take off. Saya mulai baca daftar film yang di sediakan China Airlines. Mungkin saat itu pesawat sudah berada di atas ketinggian sekian ribu kaki dari laut, ketika ibu di samping saya itu menyapa dengan bahasa mandarin. Lagi-lagi saya balas dengan bahasa Inggris. Dia nampak kebingungan, tersenyum, dan kembali diam. Cukup lama. Saya mulai menonton film yang saya pilih, yang ternyata film Thailand berjudul "Hello Stranger". Saya pun menyusun rencana: cukuplah dua jam nonton, 30 menit makan, sisanya tidur--untuk enam jam perjalanan udara dari Taipei ke Jakarta.

Tapi, rencana tinggalah rencana. Saat menonton film itu, saya berteriak pelan sambil tertawa, "haha..apa-apaan, parahlah." Seolah kaget, ibu itu tiba-tiba menoleh ke arah saya sambil bertanya, "Indonesia?". Seketika saya buka headset yang tengah saya pakai, "pardon?" tanya saya. Dia mengulang lagi sambil jelas tampak ragu, "Indonesia?". "Yeah, i'm Indonesian," kata saya pelan sambil masih meyakini bahwa ibu itu adalah orang Taiwan.
"Hoalaaaaahhh..., bilang atuh dari tadi," katanya seketika sambil memukul-mukul bahu saya pelan. Saya bengong.

Pada akhirnya, saya lebih tertarik mendengar kisah si-ibu-di samping-saya itu.
Dan cerita pertemuan di atas ketinggian ribuan kaki pun baru akan dimulai.....

...........PART #2

Sunday, 1 January 2012

2011 untuk Kota Bandung

*ditulis tgl 29 Desember 2011; dibuat untuk antaranews.com sebagai "Catatan Akhir Tahun" (numpang nampang di blog pribadi)

Pergantian tahun tinggal hitungan hari. Namun, apa yang sudah dilalui Kota Bandung sepanjang tahun 2011 ini menjadi ukiran prestasi yang dapat terus dirasakan hingga tahun-tahun berikutnya. Tahun 2011 bagi kota Bandung bisa dikatakan menjadi tahun yang cukup sibuk dalam penyelenggaraan sejumlah acara untuk pemuda, terlebih dalam bidang pendidikan. Tak tanggung-tanggung kegiatan-kegiatan yang telah digelar dalam kurun waktu duabelas bulan ini melibatkan para pemuda dari sejumlah negara di dunia.

Ya, nampaknya peran kota Bandung sebagai Ibukota Asia Afrika sekaligus kota dimana Konferensi Asia Afrika berlangsung pada tahun 1955 silam tetap ada, dan terus mempertahankan semangat tersebut dengan menjadi tuan rumah dari sejumlah kegiatan berskala internasional.

Dari sekian banyak kegiatan yang telah digelar selama beberapa bulan ke belakang, terdapat lima kegiatan yang sempat menjadi topik dalam beberapa media nasional dan internasional, di antaranya Tunza International Children and Youth Conference on Environment 2011, Konferensi Tekstil dan Kostum Internasional 2011, Seminar Internasional menyambut HUT KAA, Konferensi Internasional “Bandung Spirit”, dan Konferensi Internasional Budaya Sunda II.

Pada bulan September, kota Bandung disibukkan dengan dua buah kegiatan besar yang cukup menyita perhatian masyarakat internasional. Tepatnya 22 hingga 24 September 2011, Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Diplomasi Publik dan Pencitraan Indonesia dalam Perspektif Internasional” yang diselenggarakan atas kerjasama Museum KAA dengan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Bandung (Unisba).

Seminar ini menghadirkan pakar telekomunikasi dan media massa, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri RI Andri Hadi, dan sejumlah perwakilan negara dari Amerika Serikat, Australia, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selain seminar tersebut, sejumlah rangkaian yang melibatkan pemuda dari negara sahabat juga turut digelar, di antaranya diskusi “Uganda Hari Ini” yang menghadirkan mahasiswa asal Uganda dan pemutaran film documenter “Charlie Chaplin in Bandung” yang merupakan koleksi milik jurnalis senior asal Australia, Stephen J. Fleay, yang diperoleh dari sebuah studio film kuno Hindia Belanda di Negeri Kincir Angin tersebut.

Selang tiga hari setelahnya, kota Bandung mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah salah satu konferensi internasional untuk anak dan pemuda yang diselenggarakan oleh salah satu divisi lingkungan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), United Nations Environment Programme (UNEP). Sebanyak 1500 pemuda dan anak-anak dari 150 negara di dunia terlibat dalam Tunza International Children and Youth Conference on Environment 2011 ini. Bertempat di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), konferensi ini berlangsung selama lima hari, mulai dari 27 Sepetember hingga 1 Oktober 2011.

Konferensi yang digelar setiap dua tahun sekali ini diyakini bisa menjadi sejarah penting bagi kota Bandung. Ridwan Kamil, pegiat asal Bandung sekaligus salah satu panitia penyelenggara Tunza sempat menuturkan, posisi menjadi tuan rumah bagi konferensi ini sangatlah bergengsi. Terdapat banyak negara yang bersaing sehat untuk bisa menjadi tuan rumah penyelenggara Tunza. Bahkan, katanya, sebelum keputusan akhirnya dijatuhkan pada kota Bandung, sempat muncul nama kota lainnya di Indonesia yang juga menjadi pertimbangan.

Menjadi tuan rumah rupanya bukan satu-satunya alasan yang membuat kegiatan ini bersejarah. Alasan lainnya adalah dengan dinyatakannya Hutan Babakan Siliwangi sebagai Hutan Kota Dunia. Ini tentu menjadi kabar baik bagi sebagian besar masyarakat Bandung, karena sejak lama perdebatan mengenai pengalihfungsian Hutan Baksil antara pengusaha dan masyarakat tidak kunjung usai. Dengan dinyatakannya Hutan Baksil sebagai Hutan Kota Dunia membawa angin segar bagi masyarakat Bandung, terutama para pegiat asli Bandung, yang sempat patah hati.

Namun, permasalahan ternyata tidak selesai sampai di situ. Permasalahan selanjutnya justru menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti Apa selanjutnya? Bagaimana mempertahankannya? Atau, sejauh mana ini akan bertahan? Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan tugas bersama untuk tahun depan.

Selain dideklarasikannya Baksil sebagai Hutan Kota Dunia, ribuan anak dan pemuda dari 150 negara juga berkumpul untuk merumuskan sejumlah strategi untuk mengatasi masalah lingkungan global akibat perubahan iklim. Dari konferensi tersebut akhirnya melahirkan rumusan yang disebut sebagai “Bandung Declaration” yang kemudian akan dibawa ke konferensi lanjutan Rio+20 yang akan diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada Juni 2012 mendatang. “Bandung Declaration” tersebut akan dibahas di depan ratusan pemimpin negara di dunia sebagai perwakilan suara dari para pemuda dunia.

Dari konferensi Tunza juga lahir enam orang dewan penasehat muda atau ‘youth advisory council’ yang masing-masing mewakili setiap region. Salah seorang pemuda Indonesia, Gracia Paramitha, terpilih sebagai ‘youth advisory council’ untuk mewakili region Asia Pasifik.

Belum surut euphoria dari Tunza, kota Bandung kembali menjadi tuan rumah untuk konferensi internasional. Kali ini di bidang saintifik mengenai seni kriya, teknologi tekstil, dan kostum. Ini adalah kali pertamanya Indonesia menjadi tuan rumah konferensi bergengsi di kalangan para desainer dan ahli tekstil dunia.

Konferensi bertajuk “Heritage Textiles and Costume” ini diselenggarakan mulai 24 hingga 26 Oktober 2011 atas kerjasama Jurusan Kriya Tekstil Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan Ars Textrina University of Leeds Inggris dan Costume Culture Association Korea. Konferensi ini terdiri dari seminar, workshop, dan pameran. Peserta yang dilibatkan terdiri dari akademisi, pakar, dan mahasiswa dari Indonesia hingga mancanegara. Pameran fashion dan poster menjadi sesi yang paling ditunggu. Pasalnya, dalam pameran fashion yang berlangsung di Lawangwangi Art and Science Space tersebut menghadirkan ratusan karya dari tujuh negara, di antaranya Indonesia, Korea, Cina, Jepang, Israel, Filipina, dan Amerika Serikat.

Hal yang membanggakan, sebagian besar karya tersebut adalah hasil dari para mahasiswa kriya tekstil dan desain. Pameran ini juga melibatkan karya para desainer kenamaan Indonesia, seperti Barli Asmara, Tuty Cholid, Josephine Komara, dan Denny Wirawan.

Di bulan November, kota Bandung menjadi salah satu kota yang didatangi sebanyak 44 intelektual dari benua Asia, Afrika, dan Eropa yang dating untuk terlibat dalam Konferensi Internasional dan Multidisipliner Bandung Spirit pada 16 hingga 17 November 2011. Peserta berasal dari Nigeria, Moroko, Sweden, Bulgaria, Thailand, Vietnam, Singapura, Prancis, India, Kamerun, dan Belanda.

Kedatangan mereka ini bertujuan untuk merumuskan upaya peningkatan kegiatan pertukaran di bidang ekonomi, pendidikan, dan budaya antar negara-negara Asia dan Afrika, sedangkan Eropa sebagai pihak yang dianggap mampu berkontribusi di bidang pengetahuan dan kemampuan teknis. Konferensi ini dilangsungkan di empat kota berbeda, yaitu Jakarta (Universitas Indonesia), Bandung (Universitas Padjadjaran), Malang (Universitas Brawijaya), dan Bali (Universitas Udayana).

Tahun 2011 ini kemudian ditutup dengan konferensi internasional yang melibatkan 400 budayawan dan peserta, yaitu Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) II. Para pembicara yang dihadirkan di antaranya berasal dari Tanah Pasundan hingga mancanegara, seperti Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat.

Bertempat di Gedung Merdeka Bandung, konferensi ini digelar selama empat hari, mulai 19 hingga 22 Desember 2011. Konferensi tersebut membahas tentang pengimplementasian budaya sunda dari berbagai aspek dan bidang, di antaranya sastra dan bahasa; kesenian dan arsitektur; sejarah, filologi, dan arkeologi; agama, filsafat, dan hukum; pendidikan dan kebudayaan sunda; ekonomi dan politik; serta aspek lingkungan hidup dan kemasyarakatan. Dari sejumlah seminar dan diskusi kemudian dihasilkan rekomendasi untuk dilakukan bersama.***

Selamat tahun baru kota Bandung. 2011 telah rampung, 2012 sudah berlangsung. sukses selalu, segeralah cari walikota baru :))