Sunday, 24 June 2012

"iri tanda tak (mampu) bahagia"

cuma mau sekedar berbagi, tanpa maksud lain.
sejumlah negara meyakini, kebahagiaan suatu negara bisa rusak seketika jika para penduduknya memiliki "suatu rasa" yang, menurut mereka, paling ditakutkan dan dihindari. kalau disederhanakan mungkin akan seperti ini; mustahil suatu negara akan bahagia, jika penduduknya masih memiliki "rasa ini". well, the big question is, "rasa" apakah itu?

rasa iri.

betul! rasa iri adalah hal yang paling ditakutkan sejumlah negara, seperti Swiss dan Islandia--ini hanya dua dari sekian banyak negara lainnya. 
penduduk kedua negara ini (sebagai contoh) akan bergotong-royong menghilangkan rasa iri dalam kehidupan sosial mereka. jika sudah berhasil, maka selanjutnya mereka akan bergotong-royong untuk menghindarinya.

Penduduk Swiss misalnya, untuk menekan rasa iri, mereka akan berusaha menyembunyikan barang-barang  mereka. tujuannya, agar tidak dilihat tetangga atau teman sekampus, sekantor, atau sepermainan. mereka sadar betul, hal itu tidak hanya akan menghadirkan 'sesuatu yang mencolok', tapi juga bisa menimbulkan rasa iri. Ini gak hanya berlaku untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga hal yang bersifat inmateral, seperti kedudukan, jabatan, atau pencapaian.untuk itu, penduduk Swiss cenderung tidak suka show off--tapi ini tetap tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang emang hobi show off.

Lain halnya di Islandia. negara mungil yang berdiri di atas 'tanah es' ini juga gak mau ketinggalan untuk mengusir rasa iri dari negerinya itu. untuk menekan rasa iri, mereka akan membagi-bagikan barang mereka. gak hanya berlaku bagi kehidupan sosialnya aja, tapi ini juga berlaku buat para musisinya. Misalnya, para musisi Islandia sudah terbiasa saling membantu, jika ada satu band memerlukan sebuah pengeras suara atau gitaris utama, band lainnya akan membantu--tanpa diminta atau menunggu instruksi. See, itu berlaku juga buat alat musik, bahkan musisinya! demi apa? demi menekan rasa iri. Salut!

"Gagasan juga mengalir dengan bebas, tidak terhalang rasa iri, yaitu dosa paling beracun dari tujuh dosa yang mematikan. Jika dibiarkan, kata Joseph Epstein di makalahnya tentang rasa iri, rasa itu akan cenderung memusnahkan semua hal di dalam diri seseorang." (Weiner: 257)

saya yakin, gak ada agama yang tidak melarang umatnya untuk menghindari rasa iri. semua agama, dengan bahasa dan penyampaiannya masing-masing, pasti mengajarkan iri sebagai penyakit hati yang paling beracun.  seperti halnya dalam agama yang saya anut.

tapi yang menggelitik adalah, apa yang saya lihat di negara saya, Indonesia, yang konon katanya mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Di negara ini, rasa yang paling dihindari sejumlah negara itu justru dituai dengan indahnya, dipupuk dengan manisnya. faktor pendorong tumbuhnya rasa itu bukannya diredam, justru dimunculkan, setiap hari. lewat akun-akun canggih dan foto-foto menarik. rasa iri nampaknya betah bermukim di negara ini lantaran merasa dimanjakan. bahkan dibuatkan jargon dan seringkali keluar dari mulut orang lintas usia, katanya, "sirik tanda tak mampu". akibatnya, setiap individu merasa terusik gengsinya ketika dilontarkan kalimat itu, "siapa bilang gue gak mampu? mampu kok!" alhasil orientasi motivasi mereka pun bergeser, bukan lagi untuk pencapaian yang tulus, tapi lebih pada pembuktian. it's ok kalo itu jadi motivasi yg positif, but everybody's different. 

kalau begitu, kapan penduduk di negara saya bisa bahagia? at least, sembuh dari penyakit hati yang 'mematikan' itu. nah, gimana kalau jargon yang menggenerasi itu kita ubah aja jadi "sirik tanda tak bahagia"? biar semua orang berlomba-lomba buat bahagia dengan caranya masing-masing (yang tentunya bukan dengan cara memancing orang lain iri).***

ps: yang penting nulis
#randomthought inspired by the geography of bliss (eric weiner)
cheers!

No comments:

Post a Comment