“Technology is nothing. What's important is that you have a faith in people, that they're basically good and smart, and if you give them tools, they'll do wonderful things with them.” (Steve Jobs)
Siapa yang gak
punya Facebook? Situs jejaring sosial temuan Mark Zuckerberg ini langsung laris
manis setelah diluncurkan pada Februari 2004 lalu. Ibarat jamur di musim hujan,
semua kalangan dari berbagai usia pun beramai-ramai membuat akun dan mulai terhipnotis
kecanggihan Facebook dalam ‘mendekatkan yang jauh’ sekaligus ‘mempertemukan
yang lama tak jumpa’. What a small world,
itulah yang ada dibenak para penggunanya. Kehadiran Facebook memang
disambut baik, tak hanya di negara asal
sang penemu, Amerika, tetapi juga in
another part of the world, termasuk Indonesia. Tapi, apakah Facebook
‘sebaik’ dan ‘seramah’ itu? Well, let’s check this out!
Saya punya temuan menarik. Beberapa minggu lalu, seperti biasa saya mengunjungi situs VOA Indonesia dan membuka program kesukaan saya, Dunia Kita. Dalam Dunia Kita edisi 14 Juni 2012, saya mendapati sebuah feature news tentang pengaruh Facebook (FB) terhadap kebahagiaan penggunanya. Well, kalau ditanya apa saja keuntungan menggunakan FB absolutely semua orang tahu, tapi apa orang juga tahu apa saja kerugian penggunaan FB baru-baru ini? Check this video out, guys!
“Thank God, saya lulus SNMPTN. Eh langsung dikasih i-Pad sama ortu sebagai hadiah kelulusan"-just example.
Status-status
seperti di atas yang seringkali memancing seseorang untuk menilai bahwa temannya
jauh lebih beruntung daripada dirinya. Voilaaa, konon inilah yang memacu
tingkat stres para pengguna FB. Tingkat stres secara otomatis juga akan
berpengaruh pada kebahagiaan sang pengguna. Output-nya, selain stres, mereka
cenderung akan mudah menjadi penggerutu atau pengeluh. Celakanya, sebagian
besar pengguna FB berasal dari kalangan remaja hingga dewasa muda, atau
singkatnya generasi muda. Begitu juga di Indonesia, meski beberapa minggu ke
belakang posisi Indonesia berdasarkan jumlah pengguna FB menurun dari peringkat
ketiga menjadi keempat disusul India (49.811.920 pengguna) dan Brazil
(51.172.180 pengguna), namun yang pasti jumlah pengguna FB tetap didominasi
oleh kalangan muda. Berdasarkan data Socialbakers.com, dari 43.807.900 pengguna
FB di Indonesia, sebanyak 47 persennya merupakan generasi muda dengan range usia 18-24 tahun. Lantas, apakah kita
akan membiarkan generasi muda ini lahir menjadi generasi penggerutu dan pemurung?
Todd Khasdan,
seorang psikolog bidang kebahagian dan kesejahteraan dari George Mason
University menawarkan sejumlah solusi yang cukup simple. Menurutnya, jangan menghabiskan banyak waktu mengamati kehidupan orang lain di Facebook, ada saatnya kita
juga perlu berbagi tentang kehidupan kita, jangan hanya memandangi kesuksesan
orang lain. Beri dan sebarkan energi positif kita pada teman-teman sesama
pengguna FB atau sosial media lain, Twitter misalnya. Dan katanya nih, lebih
baik kita membatasi ruang lingkup pertemanan di FB hanya untuk orang-orang yang
kita percaya. Saya setuju dengan solusi tersebut, gak ada salahnya kita juga
ikut berbagi secuil keseharian kita sebagai ekspresi kebahagiaan atau
kesedihan, tapi tentu masih dalam batas yang wajar.
Todd Kashdan
punya solusi, anak-anak muda Indonesia juga punya solusi loh!
Setelah tren
sosial media berkembang di Indonesia beberapa tahun ke belakang, tren tersebut justru
semakin memacu lahirnya gerakan-gerakan pemuda yang menyuarakan perubahan
sosial melalui sosial media. Tren positif ini membuktikan, bahwa anak-anak muda
Indonesia tidak lagi menggunakan sosial media sekadar alat eksistensi diri
saja, tapi lebih dari itu, sebagai alat pergerakan yang terbukti efektif.
Mereka mulai memanfaatkan sosial media sebagai media yang massif dan startegis
buat menyebarkan inovasi. Bahkan, sosial media juga dianggap jitu sebagai media
persuasi untuk menumbuhkan kebersamaan. Kita tau sendiri, gimana hebatnya kekuatan Koin Peduli Prita tahun 2009 lalu; atau hadirnya Coin a Change, donasi pengumpulan koin untuk menyekolahkan kembali anak-anak
kurang mampu. Lewat bantuan sosial media jugalah sejumlah organisasi atau
komunitas pemuda terbentuk, seperti Indonesian Future Leaders (IFL), BantuIndonesia, dan masih banyak lagi.
Bahkan, sejumlah
anak muda ber-otak bisnis pun gak mau ketinggalan untuk memanfaatkan kehadiran
sosial media untuk memasarkan produk mereka dan berbisnis melalui dunia maya.
Yaaa, sebut aja keripik pedas asal Bandung yang sempet heboh beberapa
waktu lalu. Mereka gak perlu budget pembuatan iklan yang mahal itu, cukup bikin
akun Twitter dan FB, gelar strategi marketing yang jitu, dan selamat…Maicih pun
sukses di pasaran! Ada juga para pegiat lingkungan yang gak mau ketinggalan menggunakan sosial media sebagai alat persuasi, mulai dari Indonesia Berkebun, Greeneration Indonesia, hingga penyelenggaraan Earth Hour setiap tahunnya. Atau bisa contoh kisah sukses @Poconggg atau Arief Muhammad
yang sukses jadi ‘pelawak Twitter’ dan berhasil menghibur 2 Juta lebih followers-nya. These are a simple things with a big impact.
Gak cuma itu,
kehadiran sosial media juga jadi inspirasi bagi sebagian anak muda Indonesia
untuk menggelar kegiatan “how to be a
responsible Netizen” melalui seminar dan workshop. Seperti yang saya dan
teman-teman alumni Study in the United State Institute (SUSI) New Media 2010
gelar pada Oktober tahun lalu. Acara bertajuk Indonesia Young Netizen Day
(IYND) ini mengundang ratusan anak muda dari wilayah Jabodetabek-Bandung untuk
ikut seminar sehari yang membahas tentang bagaimana menjadi ‘penduduk internet’
yang bertanggungjawab. Hadir sebagai pembicara, sejumlah anak muda inspiratif
yang berhasil memanfaatkan sosial media sebagai saluran untuk menyuarakan
pergerakan dan perubahan. Tidak ketinggalan, para expert sosial media dan new
media juga senagaja kami hadirkan, seperti Enda Nasution dan Wisnu Martha (Dosen
Ilmu Komunikasi UGM). Saat ini juga telah banyak digelar sejumlah festival
sosial media, seperti “Social Media Festival” pada September 2011 lalu yang
digawangi sejumlah aktivis sosial media di Indonesia.
President Indonesian Future Leader, Iman Usman, sedang berbagi pengalaman dalam IYND 2011 |
Seluruh peserta IYND 2011 |
Terlepas dari itu
semua, saya menyadari bahwa teknologi dan segala kecanggihannya pasti melahirkan sejumlah konsekuensi, got some lose some. Toh itu semua
tergantung angle yang kita pilih, bisa
menjadi keuntungan ketika kita melihatnya sebagai peluang, tapi bisa juga
berubah jadi kerugian ketika kita memandangnya sebagai ancaman. Einstein tentu
tidak berniat melahirkan kehancuran ketika menciptakan formula E=MC2,
begitu juga dengan Mark Zuckerberg yang tidak berniat membuat orang lain jadi stress
atau tidak bahagia karena Facebook ciptaannya. Semua itu ada di tangan kita,
sang pengguna. Setuju deh sama uncle Steve Jobs, baik atau buruknya
teknologi—apapun itu, the decision is yours.***
Photo by:
@heylalit & @linggaling
inspiratif.
ReplyDeletehalo miera,
Deletethanks ya! :)
exactly true, kuda juara bukan semata2 kudanya yang tangguh, namun penunggang dibaliknya yang juga hebat, teknologi yang hebat tidak akan memberikan "value added" bagi lingkungan bila users-nya tidak bertanggung jawab, thus be a responsible netizen !!
ReplyDeletegood analogy dude!
Deletemakasih udh berkunjung :)
good article!
ReplyDeletekeep up the good work, my sist!
btw, itu font-nya kekecilan. bikin pusing
wihihi iya font-nya udh template dri sononya.
Deletenuhun yeee, kunjungin artikel lainnya juga dooong! haha
:)
nice job and nice article
ReplyDeletekemajuan teknologi membantu kita dalam bersosialisasi
tetapi tetap harus kita jaga makna dari sosialisasinya juga
exactly!
Deletelike they say, "mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat". feel free to visit another article yeee bro, cheers! :)
gado-gado banget bahasanya...:D Padahal banyak kata yang masih bagus dalam bahasa indonesia pun, seperti "menguntit" untuk "stalking", atau "sekadar contoh" untuk "just example".... Padahal anda kuliah di jurnalistik tampaknya, ckckck...
ReplyDeleteSelamat ya sudah memenangkan kontes blog VOA...doakan saya juga biar bisa mengikuti jejaknya.
ReplyDelete