“Culture
makes people understand each other better. And if they understand each other better
in their soul, it is easier to overcome the economic and political barriers.”—Paulo
Coelho, Novelist & Writer
Tidak ada ungkapan yang lebih tepat
selain pernyataan setuju saya atas apa yang disampaikan Paul Coelho, seorang
novelis asal Brazil yang menghasilkan banyak karya populer di dunia saat ini. Apa yang kita
kenal dengan istilah “budaya” ataupun “kebudayaan” memang bukan sebuah panasea atau obat penawar mujarab untuk
mengatasi masalah. Akan tetapi, “budaya” atau “kebudayaan” itu sendiri seperti
memiliki kekuatan yang dapat mencairkan kebekuan, memudahkan suatu hal untuk dipahami,
bahkan dapat meredakan suatu ketegangan. Maka sulit untuk dipungkiri, bahwa intercultural understanding menjadi media
penting dalam suatu pondasi hubungan diplomatis antar negara.
Seperti halnya yang telah lama dibangun
oleh kedua negara tetangga, Indonesia dan Australia. Sejak kemerdekaan
Indonesia, kedua negara ini telah menjalin hubungan diplomatik, mulai dari kerjasama
formal, hubungan perjanjian dan MOU, keanggotaan bersama dalam forum regional
dan perjanjian multilateral. Dari segi perdagangan dan sektor bisnis, kerjasama
kedua negara ini pun terus tumbuh setiap tahunnya. Hal ini didasari atas
kesadaran dari kedua belah pihak bahwa masing-masing saling membutuhkan.
Terlebih pada 2005, Indonesia-Australia telah menandatangani comprehensive partnership, kemitraan yang
tidak hanya mencakup satu bidang, akan tetapi lebih menyeluruh dan bersifat holistik.
Sebagai negara tetangga, Indonesia-Australia
telah melalui berbagai fase pasang surut yang sebagian besar dipicu oleh iklim
politik kedua negara. Contoh kasus terbaru adalah the spying scandals yang terjadi akhir 2013 lalu. Bias pemberitaan
media massa di kedua negara juga menjadi pemicu memanasnya hubungan bilateral yang
puncaknya ditandai dengan penarikan Duta Besar Indonesia di Canberra sebagai
bentuk kekecewaan pemerintah Indonesia terhadap pemerintah Australia, ketika
itu.
Namun, apa yang terlihat pada lapisan
permukaan, yaitu ketegangan antara pemerintah, seringkali belum tentu
merepresentasikan apa yang terjadi pada lapisan di dalamnya, yaitu society, antar warga negara di dalamnya.
Sebagai contoh sederhana, ketika kasus itu muncul, saya justru tetap berhubungan
sangat baik dengan rekan kerja yang berkewarganegaraan Australia. Bahkan, kasus
tersebut menjadi bahan diskusi menarik bagi kami. Kemungkinan tersebut bisa terjadi
jika sejak awal telah tertanam saling pengertian yang kemudian melahirkan apa
yang disebut sebagai toleransi. Kekuatan hubungan people to people dapat menjadi perekat yang efektif.
Apa yang kemudian disebut sebagai Intercultural Understanding memang
menjadi topik penting tak hanya dalam hubungan bilateral antara Indonesia-Australia
saja, melainkan juga hubungan antara negara lainnya. Namun, bagi
Indonesia-Australia, topik ini telah banyak berkontribusi bagi keduanya. Ada
banyak hal yang telah dilakukan untuk dapat melahirkan ruang dalam menciptakan Intercultural Understanding. Melalui
bidang pendidikan, Indonesia-Australia memiliki Australia Award Scholarship and
Australian Development Scholarship (ADS) yang setiap tahunnya rutin mengundang
mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan studi mereka di berbagai universitas di
Australia. Dari bidang riset, para peneliti Indonesia-Australia juga membentuk
Australia-Indonesia Centre (AIC) pada 2013 lalu yang berpusat di Monash University.
Tujuannya adalah untuk memperluas kerjasama dalam bidang penelitian, terlebih untuk
melahirkan solusi bagi masalah yang dihadapi bersama, baik di bidang kesehatan,
energi,
dan infrastruktur melalui penelitian yang dilakukan bersama.
Pada
Maret 2014 lalu, melalui Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilan, sebuah
program yang didukung pemerintah Australia dan Bappenas, lahir program untuk
membantu kaum difabel mengatasi hambatan besar yang dihadapi dalam sistem peradilan
Indonesia.
Melalui bidang kepemudaan dan diplomasi,
Indonesia-Australia memiliki Causindy (Conference for Australian and Indonesian
Youth) yang tahun ini baru saja digelar di Jakarta pada 14-17 September lalu.
Causindy merupakan ruang bagi para diplomat dan atau aktivis muda kedua negara
untuk bertemu dan berdiskusi mengenai tantangan masa depan bagi hubungan
bilateral Indonesia-Australia. Melalui bidang kepemudaan dan kebudayaan,
Indonesia-Australia juga memiliki Australia-Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP)
yang telah terjalin baik sejak tahun 1981, dan akan terus berlangsung setiap
tahunnya. Ditambah lagi dengan hadirnya sejumlah relawan Australia di Indonesia
melalui program Australian Volunteers for International Development (AVID).
Diharapkan penanaman hubungan yang lebih
bersifat informal, dari masyarakat ke masyarakat ini, dapat menjadi dasar
hubungan yang dapat kian memperkuat hubungan formal bagi kedua negara tetangga
ini.***
Bandung, 23 September 2014
Cheers!
Achie