Kota Bandung dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, nampaknya harus banyak belajar tentang pengelolaan ruang terbuka untuk publik di tengah kota. Terlebih ruang publik yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya sebagai makhluk sosial, ruang publik yang memungkinkan masyarakat untuk mengapresiasi, bersosialisasi dengan warga lainnya, atau sekadar jalan-jalan sore dan bersantai sambil menikmati matahari tenggelam. Mungkin Kaohsiung bisa menjawab. Tak sering memang nama kota ini terdengar.
Namun, sejak perhelatan International World Games 2009 sempat digelar di kota ini, nama Kaohsiung pun mulai dikenal. Kaohsiung termasuk satu di antara lima munisipalitas—setingkat provinsi, di Taiwan, Republik Cina. Kota terbesar kedua setelah Taipei ini terletak di sebelah selatan kepulauan Taiwan yang berbatasan langsung dengan Selat Taiwan. Dikenal dengan sebutan Kota Pelabuhan karena memiliki pelabuhan laut terbesar di Taiwan bernama Pelabuhan Kaohsiung. Hal tersebut juga menambah daftar daya tarik yang dimiliki kota berpopulasi sekitar 2,9 juta penduduk ini.
Tak kalah dengan Taipei, Kaohsiung menyimpan banyak keunikan di setiap sudut kotanya. Bahkan, hampir sebagian besar belum banyak diketahui. Jadi, menarik untuk digali dan diulik. Menemukan setiap sudut unik tersebut rasanya seperti mendapatkan harta karun di tengah keramaian. Tak banyak yang menyadari, namun terlalu berharga jika dilewatkan begitu saja. Itulah yang saya rasakan Agustus lalu, ketika saya berkunjung ke kota ini untuk menghadiri konferensi internasional dan youth summit yang diikuti oleh ratusan anak dan pemuda dari berbagai negara di dunia.
Berjalan kaki di tempat dan lingkungan baru selalu menjadi kegiatan menyenangkan yang wajib saya lakukan jika singgah ke negeri orang. Dan sore hari merupakan pilihan terbaik untuk melakukannya. Kaohsiung memang tidak sesibuk Taipei, jadi tidak heran jika setiap sore akan lebih banyak orang bersepeda ketimbang mengendarai mobil atau sepeda motor.
Menikmati Kaohsiung mengingatkan saya pada kota ketiga terbesar di Amerika Serikat, Chicago, Illinois. Layaknya Chicago, hampir di setiap sudut blok di Kaohsiung pun terdapat ruang terbuka, entah itu taman yang sangat luas, taman yang berkolam, hutan di tengah-tengah kota, hingga ruang terbuka yang dihiasi instalasi seni. Bahkan, sama halnya dengan Chicago River, Kaohsiung juga memiliki sungai yang membelah kota, tak tanggung-tanggung mereka menamainya Sungai Cinta alias Love River. Jika malam datang, lampu-lampu gedung bertingkat dan resto-resto yang berjejer di sepanjang pinggiran sungai memantulkan cahayanya yang seketika itu juga memunculkan kesan romantis—konon alasan itulah yang membuatnya ini dinamai Sungai Cinta. Maka tak berlebihan rasanya jika saya menjuluki Kaohsiung sebagai “Chicago-nya Asia”.
Namun, dari sekian banyak ruang terbuka yang tersebar di penjuru Kaohsiung, ada satu sudut ruang terbuka yang paling menarik perhatian, yang jelas setelah itu saya langsung berpikir, “Bandung tentu juga bisa punya ruang terbuka seperti ini, tapi kapan?”
Mereka menyebutnya Pier-2 Art Center. Adalah ruang terbuka yang berbatasan langsung dengan lautan. Semula distrik Pier-2 merupakan gudang pelabuhan yang dibangun pada 1973. Lama tidak digunakan, distrik ini kemudian beralih fungsi pada awal 2000. Sudut kota yang tidak terpakai lagi itu kemudian dimanfaatkan sebagai ruang terbuka publik sekaligus ruang pamer seni untuk para seniman lokal maupun internasional. Ruang terbuka seni ini dikelola oleh pemerintah kota yang mengurusi bidang seni dan budaya (Kaohsiung City Bureau of Cultural Affairs) sebagai bentuk upaya dalam mendukung kemajuan seni dan budaya, terlebih untuk mendorong aktivitas seni di kota tersebut.
Tepian Pier-2 Art Center Kaohsiung, Taiwan
Uniknya, karya para seniman dibiarkan terbuka dan sifatnya permanen. Jika digambarkan, bentuk kawasan ini seperti taman memanjang yang terkotak-kotak dengan karya seni di sepanjang tepiannya. Jenisnya beragam, mulai dari karya seni patung, instalasi, lukisan atau mural, interior, reka bentuk, hingga seni kontemporer. Sebagian besar karya ini sudah tersentuh aliran budaya pop, namun tetap tampak jelas paduan cita rasa Asia-nya.
Materialnya yang digunakan terdiri dari alumunium, tembaga, kaca, kayu, semen, hingga plastik. Sebagian besar material tersebut adalah material bekas atau sampah yang kemudian didaurulang. Poin penting yang menjadikan Pier-2 berbeda adalah karya seni ini dipamerkan dengan konsep yang terkesan ‘nyeleneh’. Misalnya, mural yang dilukiskan di tengah-tengah jalan, seni patung yang dipajang di atas atap bekas gudang pelabuhan, dan hal-hal out of the box lainnya.
salah satu karya seni yang paling unik di Pier-2
Karya-karya tersebut dibiarkan terbuka, sehingga tak hanya bisa dinikmati dan dilihat saja, tetapi juga dirasakan dan disentuh. Keintiman yang terbangun antara masyarakat dengan para seniman lokal tersebut terbangun melalui ketersediaan ruang terbuka seni ini. Sehingga, dengan adanya Pier-2 masyarakat tidak hanya diberi ruang terbuka untuk bersosialisasi, tapi juga diberi kebebasan untuk mengapresiasi sekaligus mendapatkan hiburan yang lebih berkualitas.
Dari beberapa karya seni yang dipamerkan, yang paling menarik perhatian adalah robot sampah dan pohon daurulang dari sampah motor perahu. Jika anda penyuka film Transformer pasti anda tidak mau melewatkan kesempatan untuk berfoto dengan trio robot plastik ini. Dari jauh robot-robot ini tampak mentereng dan gagah, tapi siapa sangka ternyata robot ini dirangkai dari sampah perabotan rumah tangga yang terbuat dari bahan plastic, besi, dan alumunium.
wajib hukumnya foto di antara trio "robot sampah" ini
Atau ada pula pohon di tepi pantai Pier-2 yang terbuat dari rangkaian besi bekas motor perahu. Perhatikan baik-baik, batang pohon ini dirangkai dari besi-besi bekas, daun-daunnya adalah lonceng, sehingga pohon ini akan menghasilkan riuh gemerincing, jika angin laut berhembus ke tepian, keserasian alam dan seni yang bisa memancing kekaguman. Selain karya seni terbuka, dalam kawasan Pier-2 juga terdapat sejumlah museum dan teater terbuka, di antaranyaKaohsiung Museum of Labor dan Moon Theater.
Dari pengalaman tersebut, lantas saya teringat kota dimana saya berasal yang ‘katanya’ tersohor dengan julukan kota kreatif, kota Bandung. Saya yakin, Bandung pun bisa memiliki ruang terbuka seni seperti halnya Pier-2. Bagaimana tidak, sejak dulu Bandung sudah dikenal sebagai gudangnya para seniman. Terlebih di kota ini juga terdapat empat perguruan tinggi yang setiap tahunnya melahirkan para seniman muda lulusan seni rupa dan desain yang tentu memiliki banyak ide segar.
Karya dan senimannya sudah ada, kini tinggal lahannya saja yang seharusnya disediakan oleh pemerintah kota sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat. Jika memang mau, kota Bandung masih punya lahan kosong yang masih bisa dimanfaatkan untuk aktivitas publik. Bukan melulu mall atau tempat-tempat bisnis yang kini semakin subur pembangunannya. Toh, senimannya sudah banyak, masyarakatnya sudah apresiatif, tinggal lahannya saja yang harus diperjuangkan. Jika harapan ini bisa benar-benar terealisasi, nampaknya saya tidak akan jadi satu-satunya orang yang paling berbahagia.***
cheers!
Bandung, Desember 2011