Tuesday, 31 May 2011
Klab Jazz feat. Margo Friday Jazz: Superb Jazzy!
Margo Friday Jazz seperti oase di tengah padatnya jalanan di sepanjang Margondang Raya. Lupakan sejenak tentang kemacetan jalanan di Depok. Yuk kunjungi Margo City di Jalan Margondang Raya. Dari depan pintu masuk utama, alunan bernuansa jazz langsung menyapa kita. Sudah dua tahun setengah, sejak Januari 2009, Margo Friday Jazz hadir mengisi ruang apresiasi halaman The Old House Coffee. Seperti namanya, event mingguan ini rutin diadakan setiap Jumat malam dari pukul 20.00-24.00 WIB. Tak hanya menghadirkan musisi Jakarta, Depok, dan sekitarnya saja, event asuhan Mas Budi atau lebih akrab disapa Mas Bucheng ini juga tak jarang menghadirkan musisi jazz dari luar Jakarta.
Seperti Margo Friday Jazz kali ini, Jumat (27/5). Margo Jazz Community (komunitas yang lahir dari acara ini) sengaja mengundang teman-teman Klab Jazz Bandung. Ini memang bukan yang pertama, sebelumnya Klab Jazz pun sempat menyapa Depok pada tahun 2009 dan 2010 lalu. Dalam kali ketiganya ini, Klab Jazz memboyong 5 band bercorak berbeda untuk tampil di panggung Margo Jazz, yaitu Halfwhole Project, Ivan & Tesla, Sunday Ice Cream, West Java Syndicate, dan Sekapur Sirih.
Sebagai band pembuka sekaligus ‘ucapan’ selamat datang dari teman-teman Depok, semua disambut oleh penampilan band pendatang baru di Margo Jazz, Cosmo Vuzela. Band yang baru terbentuk dua minggu ini terdiri dari Jordy (gitar), Yudoyono Prakoso (basis), Yudo (keyboard), dan Douglas (vocal). Mereka pantas dijuluki musisi muda karena seluruh personilnya masih duduk di bangku SMA, gabungan teman-teman dari SMA 34 dan 49 Jakarta. Semula, mereka hanyalah pengunjung setia gelaran ini dan hanya bisa duduk di kursi penonton saja. Tak disangka, minggu ini mereka bisa diberi kesempatan untuk menampilkan kebolehan mereka. “Malam Biru” milik Sandy Sandoro berhasil memanggil para pengunjung Margo City untuk ikut bergabung, disusul dengan “Menikahlah Dengaku”-nya Glenn Fredly, dan “Saat Kau Milikku” by Barry Likumahua Project. Meski semuanya masih ‘lagu orang lain’, namun mereka berhasil membawakannya dengan aransemen mereka sendiri. Cukup memberi warna baru dalam lagu-lagu pop-jazz yang sedang digandrungi anak-anak muda itu.
Deretan penonton semakin padat. Kursi-kursi kosong pun mulai terisi. Kini saatnya band asal Bandung Halfwhole Project on stage. Suasana pop-jazz yang dihadirkan band sebelumnya langsung berganti dengan nuansa straight ahead. Band yang digawangi Gallang Perdhana (elektrik bass), Edward Manurung (drum), Athfand Harahap (gitar), dan Christ Stanley (elektrik piano) ini membuka band Klab Jazz dengan empat buah lagu, di antaranya satu lagu karya Charlie Parker, “Passion Dance”, “Stella by Starlight” karya Victoriang, dan “Seven Step to Heaven”. Meski salah satu personil mereka, Athfand, tidak bisa hadir, namun tidak mengurangi kehebatan permainan mereka.
Suasana pun kembali berubah, ketika West Java Syndicate mulai memainkan musiknya. Alunan daminatila mengawali penampilan mereka. Suasana etnik pun langsung mengisi ruang Margo Friday Jazz malam itu. Inilah penampilan Kang Dede Sp (elektrik bass), Yopi D. Nafis (keyboard), dan Zahar Mustilaq (drums). Dari nama band-nya saja kita sudah bisa menyimpulkan, warna musik yang diusung tentu berbau etnis Sunda (meski ditranslet ke dalam Bahasa Inggris). Namun sayang, formasinya malam ini tidak lengkap seperti biasanya. Kang Zinner (kendang) yang juga punya peran besar dalam meramaikan band ini berhalangan hadir karena harus tampil di luar negeri dengan band utamanya, Samba Sunda. Lewat lagu pertama berjudul “Srepet Gebay” mereka berhasil mengajak penonton untuk bersorak “oi..oi..oi..” sambil mengikuti ketukan drum. Lagu kedua “Tembang Katresna”, disusul dengan lagu tradisional Sunda “Bajing Luncat” yang mereka poles habis menjadi lagu “Bajing Luncat” jazz version, dan yang terakhir “Gending Rame ku Kendang”. Meski kendang dan tuannya tidak hadir, West Java Syndicate, tetep Bandung pisanlah!
Nah, kini giliran band instrument asal Bandung yang lagi banyak dikangenin para penggemarnya ini on stage. Here we go, Sekapur Sirih. Grup yang satu ini memang pantas untuk dikangenin, permainan musik mereka yang apik dan khas memang gak pernah bosan buat didengar. Meski ngakunya udah pada sibuk ngantor dan jarang latihan, toh permainan mereka tetap saja prima. Ada Kandria Kananta atau Keke (gitar), Lukman Agus (drums), Agung Dwi Perkasa (keyboard), Andreas Nandiwardhana (gitar), dan Prasandhya Astagiri (bass). Sekarang ini seluruh personilnya memang sedang sibuk bekerja di Jakarta, Lagu pertama yang mereka bawakan adalah cover lagu “Forward Motion” dari Mezzoforte, lagu berikutnya merupakan lagu karya mereka yang berjudul “Alamanda”, “Nuansa”, “Midnight”, dan “Jakarta-Bandung PP (via Cipularang)”. Band beraliran fusion ini beberapa kali mengaku bahwa band mereka sebenarnya bukan beraliran jazz, melainkan pop. Nyatanya, dengar saja sendiri, hasilnya yang ada justru malah paket lengkap, terpadu dalam satu corak musik yang begitu khas.
Setelah puas dengan yang serba instrument, sekarang giliran band bervokalis asal Bandung, Sunday Ice Cream tampil. Band pendatang baru di Klab Jazz ini semula hanyalah gabungan para penikmat musik jazz yang rajin datang ke event-event yang digelar Klab Jazz. Dreams come true, itulah kata mereka saat pertama kali ditawari untuk bermain di Sunday Jazz Potluck Kitchen beberapa waktu lalu. Kini, Raisa (vocal), Wahyu (gitar), Jemie (bass), Ridho (gitar), Adi (drum), dan Eja (keyboard) semakin semangat bermusik karena kedatangan teman-teman baru, yaitu Ndik (trombone), Iwan (trumpet), dan Aping (saxophone) yang semakin menambah komplit warna musik mereka. Pengunjung Margo City berhasil mereka ajak nge-groove lewat lagu “Can We Talk”, “ Too Young to Die” yang dipopulerkan Jamiroquai, dan beberapa lagu karya mereka, di antaranya “Happy Sunday”, “Siapa Diriku”, dan “I lost Control”. Kabarnya, saat ini mereka sedang sibuk recording beberapa karya mereka untuk dijadikan mini album.
Malam semakin larut, waktu menunjukan pukul 23.10 WIB, saat Ivan & Tesla mulai menaiki stage. Tapi, suasana dan pengunjung Margo Friday Jazz tetap ramai dan seru. Ivan & Tesla yang beberapa waktu lalu baru saja rilis album di kampus ITB Bandung, malam ini kembali membawakan lagu-lagu mereka yang mengusung post bop di album tersebut. Sebuta saja “Willy Nilly” dan “After Her” ciptaan Tesla, dan lagu terakhir “Unborn” karya Ivan. Entah kenapa, permainan mereka memang selalu outstanding dan terkesan ‘nyeleneh’, meski pun sebelum naik ke stage Ivan sempat bilang, “Sumpah ya kita bahkan belum latihan.” Oke, belum latihan aja bisa sekeren ini, gimana kalau latihan? Ivan Jonathan (keyboard), Tesla Manaf Effendi (gitar), Gega Nesywara (bass), dan Dani Irjayana (drums) memang tidak pernah habis cara untuk membuat penikmat musik mereka terkagum, terhibur, dan ‘tertawa’ dalam waktu bersamaan. Namun, nampaknya para penggemar Ivan & Tesla harus sedikit bersabar, kabarnya Gega—sang basis—dalam waktu dekat ini akan ‘pensiun’ dari kegiatan bermusik karena akan melanjutkan studinya sebagai ahli bedah.
Lengkap sudah Margo Friday Jazz edisi 27 Mei 2011 di Margo City, Depok. Ditutup apik dengan penampilan Funkenstain dari Jakarta. Personil grup ini sebenarnya adalah ‘wajah-wajah lama’ di panggung musik jazz Jakarta, namun khusus malam ini mereka tampil dalam formasi baru. Finally, senang sekali teman-teman Klab Jazz bisa bergabung dalam Margo Friday Jazz untuk yang ketiga kalinya. Ya, karena acara ini gak hanya memberi ruang bagi musisi untuk berkarya dan mengapresiasi, tapi juga jadi ajang silaturahmi antara musisi jazz Bandung, Depok, Jakarta dan sekitarnya.
***reported by achie martasasmita
doc: klab jazz
Saturday, 28 May 2011
why, who, what, how!
Tuesday, 24 May 2011
Tuesday, 17 May 2011
Jelajahi Wisata Sejarah di Tanah Kebebasan
(West Side Story, 1961)
Kalimat di atas merupakan satu penggalan lirik dari soundtrack film musical West Side Story yang sempat sukses di era 60-an. Dari lirik di atas, kita bisa melihat sedikit gambaran tentang Amerika yang terkenal sebagai the island of freedom. Tak bisa dipungkiri, kenyataan itu memang sudah tertanam sejak lama, tambah lagi ditandai dengan keberadaan patung Liberty sebagai simbol Dewi Kemerdekaan.
Kenyataan ini juga seringkali kita saksikan di beberapa film keluaran negeri Paman Sam. Jika selama ini gambaran Amerika seringkali diidentikan dengan kesibukan dan kemewahan New York City seperti yang kita jumpai dalam scene film Hollywood, cobalah singkirkan sejenak bayangan itu.
chester (IL): the home of popeye
Mari tengok sejenak bagian lain dari negeri yang terdiri dari 50 negara bagian ini. Terletak di negara bagian Illinois, terdapat sebuah kota kecil bernama Chester yang lokasinya berada di tebing lembah Sungai Mississippi. Kota kecil ini tak hanya dilimpahi kondisi alam yang luar biasa, tapi juga memiliki nilai sejarah yang tinggi, terutama bagi para pecinta tokoh kartun Popeye The Sailorman.
Siapa sangka, pencipta tokoh kartun yang dikenal hobi makan bayam ini ternyata berasal dari Chester. Ya, dia adalah Elzie Segar, sang kreator. Karena alasan itulah kemudian kota ini terkenal dengan sebutannya sebagai The Home of Popeye (Rumahnya Popeye). Maka, tak perlu heran jika Popeye, Olive, dan Brutus akan banyak menghiasi setiap sudut kota ini. Hampir setiap rumah, café, restauran, toko, taman, bahkan rambu-rambu lalu lintas, semuanya bernuansa Popeye.
Untuk lebih mengenal Popeye, kita bisa mengunjungi museum Popeye dan berfoto ria di depan Popeye monumen, yang letaknya berada di samping sungai Mississippi. Setelah puas berkeliling Chester, jangan lupa untuk membeli oleh-oleh. Tak jauh dari tengah kota, kita bisa melihat toko souvenir berjejer hampir di setiap blok. Mereka menjual barang-barang berbau tokoh kartun Popeye, mulai dari kaos, topi, kartu pos, pulpen, sampai boneka dengan ukuran beragam. Ingat, semuanya seratus persen original, langsung dari “rumahnya Popeye”.
springfield (IL): the land of Lincoln
Masih dari negara bagian Illinois, kita beranjak ke Springfield, ibukota negara bagian Illinois. Jika Chester terkenal dengan Popeye-nya, maka Springfield terkenal dengan Abraham Lincoln-nya. Di kota inilah Lincoln pernah tinggal cukup lama, sejak 1837 sampai akhirnya ia beranjak ke Gedung Putih pada 1861. Karena itulah, tepat di tengah kota ini terdapat sebuah kawasan wisata, yakni rumah, kantor, dan sejumlah tempat favorit Lincoln ketika ia masih bermukim di Springfield.
Satu yang paling menarik, tak jauh dari kawasan tersebut terdapat “Abraham Lincoln Presidential Library and Museum”, yaitu museum yang didedikasikan untuk Presiden Amerika ke-16 itu. Di dalamnya terdapat beberapa wahana yang menceritakan sejarah hidup Lincoln. Kesemuanya itu diceritakan lewat boneka-boneka lilin yang disusun secara kronologis, lengkap dengan musik dan suara pendukung. Hebatnya, sejarah Lincoln pun dihadirkan dalam bentuk pertunjukan teaterikal.
Dan disini pulalah kita bisa menyaksikan ‘hantu’ Lincoln yang dihadirkan lewat teknologi 3D. Ini bukan museum sekadar museum, bukan sekadar pelajaran sejarah yang digabungkan dengan kecanggihan teknologi, tapi juga suatu bentuk pembuktian seberapa besar jiwa patriotisme bangsa Amerika terhadap para pemimpin dan negaranya.
chicago: the power of 'cloud gate'
Setelah dari ibukota, kini kita mendarat ke kota terbesar di Illinois sekaligus kota terbesar ketiga di Amerika Serikat, Chicago. Selain terkenal dengan Chicago Bulls-nya, kota ini juga tersohor karena kekayaan arsitektur bangunan-bangunannya. Mulai dari bangunan arsitektur klasik yang usianya sudah ratusan tahun, hingga karya arsitektur paling modern, tersebar di hampir seluruh penjuru kota. Salah satu yang paling menarik adalah Cloud Gate yang terletak di dalam komplek Millenium Park.
Selain berdiri tepat di tengah kota, karya seni yang berlokasi di Michigan Avenue ini sangat unik. Bentuknya seperti butiran stainless yang memantulkan pemandangan kota Chicago. Jika siang hari, Cloud Gate akan siap memantulkan keindahan Chicago Skyline, sedangkan malam hari ia akan memantulkan lampu-lampu kota yang romantis.
st. louis: d'arch, gate to the west
Beranjak sebentar dari Illinois, kini kita lihat kehebatan dari ikon kota St. Louis, kota di negara bagian Missouri. Letaknya memang tak jauh dari Illinois, kita hanya membutuhkan sekitar 1 jam dari Illinois untuk bisa sampai ke St.Louis. Dari ujung jalan tol, kita sudah bisa menyaksikan sebuah lengkungan raksasa setengah lingkaran yang membelah langit St.Louis. Ya, itulah Gateway Arch, monumen yang lebih dikenal dengan sebutan D’Arch. Monumen yang terbuat dari bahan stanless setinggi 630 kaki ini dibangun pada 1963.
Percayalah, bangunan sehebat ini hanya dibuat dalam waktu 2 tahun saja. Dengan lengkungannya yang menyerupai sebuah gerbang atau perbatasan ini, D’Arch diibaratkan sebagai gerbang pergerakan dari Timur menuju Barat. Seperti monumen pada umumnya, pengunjung tak hanya dapat menikmati pemandangan D’Arch dari luar, tapi juga dari dalam. Ya, pengunjung bisa memasuki monumen ini dan melihat pemandangan kota St.Louis dari atap D’Arch.
st. genevieve: feels like europe!
Masih di Missouri, kini saatnya kita memanjakan lidah. Terletak jauh dari keramaian kota, tepatnya di daerah bernama St.Genevieve, kita bisa menemukan sebuah gerai bernama Sara’s Antiques yang menyediakan aneka rasa es krim. Kabarnya, es krim home made ini merupakan es krim yang paling terkenal di kawasan St.Genevieve. Pasalnya, Sara’s merupakan gerai es krim tertua dan paling memiliki cita rasa.
Selain itu, kita bisa menikmati es krim yang lezat dengan suasana Eropa yang sangat kental. Selamat datang di St.Genevieve, sebuah desa bekas jajahan Prancis yang hingga saat ini masih sangat “terasa Prancis”-nya. Kita bisa menemukan rumah-rumah bergaya Eropa, bahkan menjumpai warga yang masih menjunjung tinggi budaya Prancis. Tepat, di sinilah anda bisa merasakan cita rasa lain dari negeri ini, merasakan suasana Eropa di tanah Amerika.
DC: newseum, paradise of journalism
Rasanya belum ke Amerika Serikat jika belum mengunjungi ibukota negaranya, ya..Washington DC. Biasanya DC identik dengan Gedung Putih dan pusat pemerintahannya, tapi kini lupakan soal Gedung Putih. Mari kita kunjungi kehebatan Newseum (News Museum). Beberapa di antara kita mungkin pernah mengunjungi Newseum yang berada di Jakarta, nah..itu belum seberapa.
Inilah pusat Newseum, museumnya para jurnalis dan media di seluruh dunia. Sejarah jurnalisme, mulai dari ditemukan hingga kini, terekam jelas dari setiap ruangan dan wahana yang ditampilkan. Terdapat teater 3D bagi anda yang ingin memahami sejarah jurnalisme dengan gaya yang berbeda. Di sini dijelaskan tentang bagaimana jurnalisme dapat mempengaruhi pergerakan dan kehidupan di dunia.
Ada pula ruangan khusus yang menampilkan karya-karya pemenang penghargaan paling bergengsi, Pulitzer. Bahkan, kita juga bisa menyaksikan siaran langsung dari stasiun televisi dan membaca suratkabar dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Setidaknya hal itu cukup bagi kita untuk menyadari bahwa di luar masalah politik, terdapat banyak hal yang bisa dipelajari dari negara Adikuasa itu. Bukan melulu soal kebebasan, modernitas dan gaya hidup penduduknya, tapi juga jiwa patriotisme dan rasa menghargai yang tinggi terhadap sejarah dan negaranya.
Monday, 16 May 2011
kebodohan di pagi buta
tak berlaku buat saya dan icun (partner job training saya).
ketika semua orang memulai aktivitasnya di pagi hari, kami justru baru menyudahinya. sunset dan sunrise seperti berbalik. makan malam adalah 'sarapan'. makan pagi adalah 'makan malam' sebelum akhirnya pergi tidur. ngemil karbo di tengah malam dan tidur di pagi hari jadi rutinitas baru.
settingan hidup pun berubah. manusia-manusia malam.
gak ada stress. keluar jam 10 malam, jalanan sudah sepi dan lancar jaya. gak mengeluh karena macet atau cuaca panas. kulit mutihin udah pasti. hal yang harus diperangi hanyalah: menahan kantuk dan dingin.
flyover pasupati, jalan wajib yang harus kami lewati setiap hari. lengang dan sepi. ibarat mau guling-guling pun bisa. inilah sedikit keisengan yang kami ambil saat menunggu matahari terbit di pasupati:
pasupati, 04.50 wib
pasupati, 05.10 wib
pasupati, 05.30 wib
pasupati, 05.40 wib
banyak keisengan lainnya yang saya dan icun lakukan ketika semua orang tengah terlelap tidur. merecoki manusia-manusia malam lainnya, atau bahkan berbagi obrolan masa depan.
crafty day, wrap my dreams
"it's all about handmade, creativity, and "do it yourself"-stuff"
selama ini saya selalu berharap ada "hari kerajinan tangan" nasional. semua anak, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan semua orang dari berbagai profesi, sengaja diliburkan dan diwajibkan untuk membuat kerajinan tangan. semua orang, tanpa terkecuali, harus paling tidak menghasilkan satu buah karya pada hari itu (lukisan, gambar anime, rajutan, seni melipat, memahat, mematung, design, membuat asesoris, scrap book, menjahit, etc).
tempatnya bisa dimana-mana, di komplek rumah, sekolah, kantor, taman kota, atau ruang publik. yang jelas, karya-karya itu nantinya akan dipajang dan dipamerkan sebagai hasil karya bersama :)
di beberapa negara, tradisi crafty day ini udah jadi event tahunan yang gak mungkin dilewatin. karena di hari inilah, kreativitas mereka bebas diekspresikan. selain buat ngilangin penat akibat rutinitas, 'hari kerajinan' ini juga biasanya dijadiin ajang kumpul buat saling bertukar ide.
kenapa saya sangat ingin dan menganjurkan untuk diadakan 'hari kerajinan nasional'?
- otak kiri dan otak kanan kita butuh keseimbangan
- penghargaan dan apresiasi diri--> apapun hasilnya karya kita, dijamin tetep menimbulkan rasa puas
- melatih motorik dan kepekaan
- menimbulkan rasa saling menghargai (atas karya orang lain)
- seni ada untuk dinikmati dan dikagumi
dan yang terakhir...
Tuhan menciptakan tangan kita untuk berkarya (berkarya dalam arti yang sesungguhnya). saat kita membuat sesuatu dengan menggunakan tangan kita sendiri, semua emosi dan rasa yang ada pada diri kita saat itu ikut 'masuk' dalam benda tersebut (apapun itu). percayakan tangan kita untuk menghasilkan sesuatu yang lebih bernilai tinggi ketimbang hasil printer atau mesin tekstil.
itulah kenapa segala sesuatu yang bersifat 'handmade' jauh lebih mahal dari pada yang dibuat secara masal oleh mesin.
meski belum pernah merasakan 'hari kerajinan nasional', saya cukup bersyukur karena sempat menikmati 'hari kerajinan lokal' atau crafty day#5 yang digelar Tobucil, Sabtu dan Minggu (15/16 Mei). ini adalah kali kelimanya Tobucil menggelar crafty day. dan seperti biasa antusiasnya selalu oke :)
salute saya buat teman-teman Tobucil yang sudah mengakomodir keinginan saya (meski pun bukan hari kerajinan nasional :p) dan sebagian warga Bandung lainnya. kalau dibilang kalap, ya kalap juga sih. segala pernak-pernik lucu ada di sini. nah, dari sini juga saya bisa lihat, "gilaa..anak-anak Indonesia kreatif-kreatif banget!" karena stand-stand yang ada itu mamerin produk-produk kreatif lokal ( sebagian besar handmade) karya anak-anak muda.
mulai dari anak-anak, ibu-ibu, sampai bapak-bapak, gabung di crafty day ini. bahkan cowok-cowok berbadan besar dan ganteng sekalipun gak malu tuh pegang-pegang benang wol.
buat saya, crafty day ini adalah waktu yang tepat untuk memanjakan diri, gak peduli deh karyanya apa dan sebagus apa. yang penting hati puas, otak kanan terasah, dan senaaaang :))
Potongan Puzzle Negeri Kincir Angin di Sudut Kota Bandung
Ada potongan puzzle kecil milik bangsa Belanda tersimpan rapi di kota kelahiran saya, Bandung. Puzzle ini 'tertinggal' sudah hampir se-abad lalu, tapi kharismanya masih sekuat namanya. Dari potongan puzzle inilah saya belajar mengenal sejarah, kebudayaan, inovasi, dan mental sebuah negeri kincir angin. "Sejarah dan kebudayaan tradisional mereka gabungkan dengan inovasi, modernisasi dan orientasi internasional, hingga saat ini."
***
“Hallo! Bandoeng!”
“Ja moeder hier ben ik!”
Ze antwoordt niet.
Hij hoort alleen ‘n snik
“Hallo! Hallo!”
Zij is niet meer en het kindje roept: “Tabeh”
Tepuk tangan penonton terdengar bersamaan dengan lirik terakhir yang saya nyanyikan. Lagu ini membuat saya tak sadarkan diri beberapa menit. Bukan karena lupa lirik, tapi karena pikiran saya pun ikut ‘bernyanyi’. Bagaimana tidak, lagu yang dipopulerkan Wieteke Van Dort berjudul “Hallo Bandoeng” ini punya makna yang begitu dalam. Dibuat pada 1929, mengisahkan tentang seorang nenek yang rindu pada anak-cucunya yang pada masa itu (kolonialisme) tinggal di Kota Bandung. Ada hal yang saya dapat dari lagu ini, bahwa untuk mengenal sesuatu yang besar bisa bermula dari hal sekecil apa pun. Dari lagu ini, misalnya. Ada ikatan emosional yang dihadirkan, antara negeri dimana lagu ini berasal—Belanda, dan kota Bandung—kota kelahiran saya.
Meski saya belum pernah menginjakan kaki di negeri kincir angin, namun kehebatan tangan-tangan bangsa Belanda bisa saya saksikan di kota tempat saya tinggal ini. Coba tengok Jalan Braga di Kota Bandung. Karya-karya Schoemaker bersaudara (arsitek Belanda) hampir mendominasi jajaran bangunan di jalan yang sempat dikenal sebagai “jalan yang paling bergaya Eropa”. Bangunan-bangunan art deco masih kokoh berdiri, menjadi ikon tersendiri bagi kota Bandung, dan sempat mengantarkannya ke peringkat 9 dalam “World’s Great Cities of Art Deco”.
Dari ‘potongan puzzle terkecil’ di sekitar saya ini: lagu, kekayaan heritage, dan beberapa buku, seperti Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto milik ayah, saya mendapat tiga pandangan tersendiri tentang sebuah negeri kecil dengan semangat besar yang terletak di Eropa bagian barat laut itu.
Konsisten terhadap kualitas pendidikan. Bayangkan, pada tahun 1900-an, ilmu arsitektur di Belanda sudah bisa secanggih itu. Kekuatan bangunan dan ornamen art deco hingga saat ini masih belum ada yang bisa menandingi. Inovatif dan pola pikir luar biasa juga jadi keunggulan Belanda. Tak heran, jika sejak masa Bung Hatta hingga kini, Belanda tetap menjadi negara tujuan utama dalam bidang pendidikan.
Disiplin dan well-organize. Inilah keunggulan yang membedakan Belanda dengan negara lainnya. Waktu dan peraturan bukanlah perkara sepele. Bagi saya, tradisi disiplin inilah pondasi utama atas seluruh pencapaian Belanda dari dulu hingga sekarang. Bukti well-organize mereka salah satunya tentang upaya pengalihan dan pembendungan air yang dulu menutupi daratan Belanda, dengan memanfaatkan kincir angin. Jika hanya mengandalkan teknologi pada masa itu saja, mustahil akan berhasil. Ada disiplin dan perencanaan super, terselip kokoh dalam ‘windmill’ itu.
Peduli lingkungan, bagian dari budaya. Hutan di tengah kota, udara segar siap memanjakan para penghuninya, 16 juta sepeda jadi transportasi utama, polusi & plastik jadi musuh bersama, diganti dengan ribuan tulip cantik mempesona. Nyamannya hidup sehat berdampingan dengan alam. Saya memang belum pernah merasakannya langsung, tapi terbayang sudah cerita kakak, teman, dan foto-foto itu.
Ah, pantaslah negeri ini masuk dalam jajaran negara paling nyaman dan menjanjikan untuk hidup dan belajar. Netherland, grab me fast!*buka juga kompetiblog2011