“Terkadang,
kita perlu beranjak keluar sejenak dan melihat dari luar, bahwa apa yang kita miliki
begitu berharga.”
***
Sepenggal kalimat itu saya ucapkan pada Desember 2014 lalu, di hadapan sejumlah anak muda Indonesia dan Australia, dan di hadapan para petinggi daerah di Kalimantan Selatan. Ketika itu saya diminta berbicara, mewakili pemuda lain untuk menyampaikan kesan dan pesan yang saya dapat selama mengikuti program pertukaran pemuda yang diselenggarakan pemerintah Australia dan Indonesia. Ini memang bukan kali pertamanya saya berpidato di dalam sebuah forum. Namun, ini berbeda.
Dalam speech spontan tanpa teks apalagi
persiapan tersebut, saya berdiri selama kurang lebih 10 menit, dan tanpa saya
sadari, saya melintasi banyak temuan yang justru saya dapatkan secara
kebetulan. Sepuluh menit yang berkualitas bagi saya untuk lebih mengenal diri
saya sendiri. Sejujurnya ketika itu, saya tidak sedang berbicara di hadapan
banyak orang, melainkan berdialog pada diri sendiri.
Sebelum akhirnya
saya berdiri di podium itu, saya dan 17 pemuda Indonesia lainnya—yang kemudian
menjadi keluarga baru saya, telah melewati 2 bulan yang berharga. Kami dikirim
ke Australia Barat untuk melakukan sebuah misi, bukan misi politik, melainkan
misi budaya secara luas yang harus dibangun pada level terkecil dalam sistem
sosial, yaitu individu ke individu. Selama 2 bulan kami tinggal bersama
keluarga angkat di sana, setiap hari kami mendapat kesempatan bekerja melalui
kegiatan magang di perusahaan, sekolah, dan universitas. Setiap Senin, kami off dari tempat magang, dan mengabdikan
diri kami selama satu hari itu untuk berkunjung ke sekolah-sekolah dan
menampilkan kebudayaan Indonesia melalui lagu, tarian, dan kesenian.
Mungkin sebagian
akan mengatakan, kegiatan semacam ini bisa saja kita temukan dalam
program-program pertukaran pemuda lain yang serupa. Tidak, itulah yang ingin
saya bagi. Itulah yang membuat saya memiliki kekuatan untuk berdialog pada diri
sendiri dalam waktu 10 menit yang seharusnya saya pergunakan untuk
berpidato.
Meski pada
akhirnya saya menyadari, bahwa perjalanan 2 bulan ini bukan hanya tentang misi
tersebut, itu hanya sebuah kotak besar yang mewadahi kami semua. Lebih dari
itu, saya memaknai perjalanan ini sebagai suatu kontemplasi diri. Perjalanan
dari tempat ke tempat lain, dan menjadi orang asing di tempat baru, selalu
menarik bagi saya, selalu berhasil membawa pemikiran baru yang mendalam dan
bisa saya bawa pulang.
Ini bukan soal
perjalanan pergi ke luar negeri. Apalah arti ke Australia, ketika semua orang
bisa dengan mudahnya pergi kesana, dengan begitu banyak pilihan promo
penerbangan yang menggiurkan. Ini bukan soal itu. Ini adalah sebuah temuan pribadi, sesuatu
yang justru saya dapatkan ketika saya berada ‘di luar lingkaran’ khatulistiwa.
Lalu, apa itu?
Apa yang saya dapat dari perjalanan itu?
Sebuah koneksi.
Itu saya temukan
ketika ratusan tepuk tangan siswa Kennedy Baptist College menggemuruh di
auditorium sekolah, sesaat setelah kami menyelesaikan setiap part dari Tari Saman. Itu saya temukan
ketika sekelompok siswa Scotch College dengan antusias mengikuti setiap gerakan
tari Tor-Tor yang kami peragakan. Itu saya temukan saat anak-anak sekolah dasar
di Margaret River Primary School dengan rajin berlatih lagu “Malam Kudus”
menggunakan angklung untuk konser malam Natal mereka.
Koneksi itu saya temukan pula ketika seseorang yang tidak saya kenal di halte bus Transperth menyapa saya dan memuji dress batik yang saya kenakan pagi itu, dan koneksi itu juga saya rasakan ketika melihat Rumah Makan Padang di sudut kota Perth lebih penuh ketimbang restoran sushi di seberangnya. Ketika lagu “Tanah Air” berkali-kali lipat lebih sakral dari yang pernah saya bayangkan. Ya, koneksi di luar dugaan yang terkadang membuat saya merinding sendiri, dan justru saya temukan ketika saya tengah berada jauh dari “rumah”.
Koneksi itu saya temukan pula ketika seseorang yang tidak saya kenal di halte bus Transperth menyapa saya dan memuji dress batik yang saya kenakan pagi itu, dan koneksi itu juga saya rasakan ketika melihat Rumah Makan Padang di sudut kota Perth lebih penuh ketimbang restoran sushi di seberangnya. Ketika lagu “Tanah Air” berkali-kali lipat lebih sakral dari yang pernah saya bayangkan. Ya, koneksi di luar dugaan yang terkadang membuat saya merinding sendiri, dan justru saya temukan ketika saya tengah berada jauh dari “rumah”.
Menari Saman saat piknik bersama keluarga angkat di sudut kota Perth, Australia Barat. |
Mendapat sambutan meriah dari siswa Kennedy Baptist College |
Saya sudah
seharusnya berterimakasih pada Hope, Abigail, Rubby, dan Katelyn, siswa kelas 2
di Margaret River Primary School, yang setiap hari datang menemui saya di kelas
Music Department. Selain magang di media massa, saya juga berkesempatan magang
sebagai guru musik di Music Department Margaret River Primary School di
Australia Barat. Ini merupakan tantangan bagi saya yang dalam sepanjang hidup
saya tidak pernah sekalipun belajar musik secara formal. Saya memang bisa
memainkan beberapa alat musik, namun itu pun belajar secara otodidak. Berbekal
kemampuan seadanya, dan sedikit pemahaman tentang alat musik angklung, saya pun
diminta untuk mengajarkan alat musik bambu asal provinsi saya pada siswa kelas
1 hingga 6 di sekolah dasar tersebut.
Suasana kelas Music Department ketika saya mengajarkan alat musik angklung pada siswa Margaret River Primary School
Dari sekian
banyak siswa yang hilir-mudik setiap harinya, menyapa saya dengan Bahasa
Indonesia—ya, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi salah satu kurikulum di
sebagian besar sekolah dasar di Australia; Hope, Abigail, Rubby, dan Katelyn
adalah 4 di antara ratusan siswa lainnya yang intens bertanya tentang
Indonesia. Mereka bahkan rela menunggu saya di depan ruang staff ketika jam
istirahat, dan membuat saya memutuskan untuk makan siang bersama mereka di
halaman sekolah ketimbang makan siang bersama dengan guru-guru lainnya.
Pertanyaan
sederhana khas anak-anak, namun tak jarang membuat saya terdiam, berpikir, dan
merasa tertampar. Pertanyaan serupa ini, “Seperti apa Indonesia?”, “Apa yang
paling kamu suka dari Indonesia?”, “Bagaimana orang-orang di Indonesia?”,
“Apakah kamu bahagia berada di Indonesia?”, dan pertanyaan ‘sederhana’ lainnya.
Saya menyadari, mereka tidak
perlu jawaban yang diplomatis. Mereka pantas mendapatkan lebih dari itu.
Mereka adalah anak-anak yang benar-benar bertanya karena keingintahuan mereka,
bukan basa-basi.
Baru kali itu
saya bercerita tentang
Indonesia dengan penuh semangat, menjelaskan cara pembuatan tempe
dengan perasaan yang begitu antusias, menceritakan tentang kisah Candi
Prambanan dengan semangat, menunjukkan pertunjukkan wayang golek melalui
saluran Youtube dengan penuh suka
cita.
Siswa Margaret River Primary School tengah berlatih lagu Malam Kudus menggunakan angklung untuk Konser Malam Natal. |
Itulah mengapa
saya menyebut perjalanan ini sebagai kontemplasi diri, proses untuk jujur pada
diri sendiri, yang pada akhirnya mempertemukan saya dengan koneksi yang luar
biasa dengan Tanah Air dimana
saya berasal. Rasa cinta itu bertambah dengan sendirinya, perasaan
bangga yang timbul bukan karena keangkuhan ataupun kemenangan, melainkan kerendahan
hati. Lantas, jika sudah begini, ruang, waktu, rupa, dan warna bukan lagi jadi
perkara, dikalahkan rasa bersama menjadi penghuni semesta raya, di situlah
tingkat tertinggi dari rasa cinta angkat bicara.
Perjalanan ini adalah perjalanan untuk lebih mengenal negeri sendiri. Melalui perjalanan ini, saya semakin paham, bahwa manusia cenderung sulit mengenali keindahan yang ada di sekelilingnya, sampai pada akhirnya kita menjadi orang asing di tempat baru, dan menyadari bahwa apa yang sudah kita miliki teramat begitu berharga.***
Perjalanan ini adalah perjalanan untuk lebih mengenal negeri sendiri. Melalui perjalanan ini, saya semakin paham, bahwa manusia cenderung sulit mengenali keindahan yang ada di sekelilingnya, sampai pada akhirnya kita menjadi orang asing di tempat baru, dan menyadari bahwa apa yang sudah kita miliki teramat begitu berharga.***